Page 19 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 19

Rio sudah menunggu saat aku tiba di mulut gang, dia tersenyum, aku menelan ludah, melihat

               penampilannya, alangkah rapinya. Sejak kapan Rio memakai kemeja dan ikat pinggang? Kami
               naik taksi, yang langsung membelah jalanan.


               “Aku grogi, Rio.” Aku berkata pelan.


               Rio tertawa, “Santai saja, Na. Orang tuaku nggak akan menggigit. Mereka menyenangkan malah.”


               Aku tersenyum simpul, tetap gugup, meremas jari.

               “Aku nggak malu-maluin, kan?”


               “Kamu cantik, Na. Apanya yang malu-maluin.”


               Wajahku bersemu merah.


               “Rileks saja ya, Na.” Rio menatapku, mengangguk.


               Aku ikut mengangguk patah-patah.


                                                           ***

               Rumah orang tua Rio tidak jauh dari kampus, di sisi lain kota kami. Rio nge-kost hanya agar bisa

               fleksibel  ke  kampus.  Rumah  itu  luas,  halamannya  luas,  beberapa  mobil  box  terparkir  rapi,
               beberapa karyawan dengan celemek rapi, terlihat membawa nampan-nampan kue terbungkus

               plastik. Juga kotak-kotak kue. Aroma kue lezat mengambang di udara. Rio mengajakku melintasi
               halaman, menuju pintu depan.


               Aku tiba-tiba merasa ada yang keliru sekali.


               Hiks,  apa  yang  pernah  kubilang  pada  Puteri?  Makanya,  siapa  suruh  GR?  Saat  kebenaran  itu
               datang,  maka  bagai  embun  yang  terkena  cahaya  matahari,  debu  disiram  air,  musnah  sudah

               semua harapan-harapan palsu itu. Menyisakan kesedihan. Salah siapa? Mau menyalahkan orang
               lain?


               Hiks, ternyata kita senasib, Put.
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24