Page 18 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 18

meskipun Rio sudah tinggal ujian sidang skripsi. Aku berkali-kali bingung menulis reply komen

               Rio, dihapus lagi. Ditulis lagi, dihapus lagi. Bahkan aku nyaris menelepon orang tuaku di kota
               lain. Hendak berkonsultasi.


               Rio serius?


                                                           ***


               “Selamat ya, Na.” Puteri berkata pelan.

               Besok  pagi-pagi,  kami  berdua  berpapasan  di  depan  kamar  mandi.  Puteri  hendak  mandi,  aku

               sudah selesai.


               “Selamat apanya, Put?”


               “Facebook.” Puteri berkata lirih, menunduk.

               Aku mengangguk, paham. Tentu saja Puteri melihat wall-ku, dia seminggu terakhir pasti terus

               memonitor  wall-ku  dan  wall  Rio.  Hal  yang  dulu  kulakukan  saat  Puteri  merasa  Rio  naksir
               dengannya.


               “Aku ikut senang, kok.” Puteri menatapku lamat-lamat, “Nana jauh lebih baik buat Rio dibanding
               aku.”


               Aku tersenyum. Puteri adalah teman sejak SMA, aku dekat dengannya lebih dari enam tahun,

               jadi  aku  hafal  tatapan  matanya,  dia  sungguh-sungguh  mengatakan  itu.  Aku  memeluk  Puteri,
               berbisik, terimakasih ya, Put. Kami berdamai. Puteri sudah bisa menerima kalau selama ini dia
               hanya GR doang.


               Sudah pukul delapan, aku harus bergegas. Rio bilang dia menunggu di mulut gang jam delapan

               lewat tiga puluh. Kami akan langsung menuju rumahnya, menumpang taksi. Ini benar-benar gila
               sebenarnya,  aku  bahkan  sejak  semalam  pusing  memikirkan  harus  mengenakan  pakaian  apa.

               Cemas  dengan  percakapan  yang  akan  terjadi.  Rio  akan  memperkenalkanku  dengan  orang
               tuanya. Ya Tuhan, aku ngos-ngosan bahkan sekadar membayangkannya.
   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23