Page 64 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 64

“Jangan lakukan,” Rama berlutut di depan Shinta, sekejap, akhirnya dia paham, melihat
               Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, “Jangan lakukan, Shinta, demi aku.”



               Tetapi  kesadaran  itu  sudah  amat  terlambat,  Shinta  bersiap  melakukan  prosesi
               pembuktian paling tinggi.



               “Ibu, bukalah pintumu….” Shinta memukul tanah seperti orang gila.


               “Dengarkan aku, Shinta." Rama yang berlutut berusaha menggapai tubuh istrinya.


               “Ibu pertiwi, aku mohon.…” Shinta merangkak menjauh.



               “Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.”


               “Ibu, aku mohon. Aku tidak tahan lagi.”


               “Kembalilah padaku, Shinta. Demi anak-anak kita.” Tangan Rama berusaha menggapai

               rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.


               Sejengkal lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih dulu merekah. Sempurna

               sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak berpikir panjang langsung melompat.


               Rama  terkesiap,  tangannya  menggapai  kosong.  Hendak  mengejar,  terlambat,  rekahan

               menganga itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat kepulan tinggi.
               Hening. Hening.


                                                           ***

               Juga hening pemakaman kota ini. Malam sudah turun sejak tadi, lampu-lampu taman

               pemakaman menyala, meski tidak kuasa menerangi hingga pusara Cindanita.


               Satu-dua kunang-kunang terbang di hadapanku.
   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69