Page 66 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 66

berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada tanding. Sementara rakyat

               Ayodya? Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk bisik-bisik kotor itu.


               Itulah  kisah  legendaris  Rama  dan  Shinta,  Cindanita.  Maafkan  Ayah,  Nak,  kisah  ini

               ternyata tidak berakhir bahagia.


               Cindanita  menatapku,  berkerjap-kerjap.  Aku  mengangguk,  ya,  kau  benar  Cindanita,

               kisah  ini  mirip  dengan  cerita  Ayah  dan  Ibumu.  Setelah  dua  tahun  menikah,  Ibumu
               mengandung. Itu kau, Cindanita, membuat kebahagiaan kami berlipat-lipat.



               Tapi sayangnya, bisik-bisik itu mulai terjadi. Banyak tetangga yang datang menjenguk
               Ibumu, bertanya satu-dua hal, mengetahui Ayahmu yang bekerja sebagai pelaut, lantas

               entah dari mana prasangka kotor itu mulai bekerja. Bukankah pelaut jenis pekerjaan

               yang  mudah  tergoda?  Tiga  bulan  berlayar  entah  ke  kota  mana,  pelabuhan  mana,
               bukankah? Bukankah?



               Ayah tidak tahu sejak kapan Ibumu termakan bisik-bisik itu. Ayah merasa semua baik-
               baik saja, bahkan saat menemani kau lahir Cindanita, Ayah merasa menjadi orang paling

               berbahagia  sedunia.  Tidak  dengan  Ibumu,  ternyata  dia  berbulan-bulan  menahan  diri
               untuk bertanya apakah aku masih setia dengannya, apakah aku tidak berselingkuh di

               kota lain. Dan bisul itu pecah saat semua kerepotan datang mengurus kau, Cindanita.

               Ayah yang harus kembali ke kapal, menerima hujaman pertanyaan itu.


               Apa  yang  harus  Ayah  jawab?  Jelaskan?  Bahkan  Ayah  sungguh  bingung  dengan

               prasangka  itu?  Bukankah  kita  baik-baik  saja  selama  ini?  Ibumu  sebaliknya  justeru
               berteriak  histeris,  bilang  tidak  percaya.  Situasi  berubah  dengan  cepat  memburuk,

               pernikahan kami seperti kapal memasuki badai.


               Tiga bulan kemudian, saat Ayah kembali lagi ke kota, Ibumu bahkan menolak bicara.

               Prasangka  itu semakin tebal, cinta kami  dikalahan  oleh ketidakpercayaan. Tiga bulan
               lagi berlalu, semua tiba pada puncaknya, malam itu Ibumu marah besar, dan dia pergi

               begitu  saja  dari  rumah.  Ayah  panik,  Nak,  kau  menangis  kencang  di  kamar.  Situasi

               berubah jadi  menyedihkan, aku tidak becus mengurus bayi, dan kau jatuh sakit, satu
   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71