Page 181 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 181

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern





                        Kebaikan dan kejahatan,
                        Yang timbul dari napsu durhaka,
                        Kebaikan serupa itu, jahat.
                        Kejahatan selalu jahat,
                        Kesucian yang di dalam hati,
                        Hamburkan di segenap sanubari.

                        Wahai, anak kita, putri putra
                        Putra ibu Pertiwi Ayah Akasa,
                        Berbuat dan siarkan kemauan Tuhan,
                        Jadikan dia sinar negeri kita,
                        Jadilah mata air sinar dunia.

                        Persoalan  pria-wanita  atau  kesetaraan  gender  memang  adalah
                hal  yang  tak  boleh  diabaikan  atau  dikesampingkan,  namun  persoalan
                penjajahan  adalah  hal  yang  lebih  penting  lagi  untuk  diekspresikan.
                Tentu,  pengertian  “penjajah”  di  sini  bukan  dalam  kaitan  dengan  rasa
                hormat  atau  pemujaan  terhadap  praktik  penjajahan  melainkan  pada
                kenyataan yang telah melecehkan bangsa lain. Di masa ketika Indonesia
                masih  bernama  Hindia  Belanda  atau  masih  di  bawah  kolonialisme
                Belanda, jelas tidak mudah bagi intelektual pribumi untuk menyuarakan
                perlawanan  atau  rasa  anti  kepada  pihak  penjajah.  Sebab,  jika  ada
                perlawanan  dalam  bentuk  apa  pun  pasti  akan  langsung  ditindas  sebab
                hal  itu  tentu  langsung  akan  dianggap  sebagai  telah  merongrong
                kewibawaan  penjajah.  Oleh  kenyataan  yang  seperti  ini  maka  banyak
                cara atau siasat yang harus dilakukan, termasuk dengan menyamarkan
                identitas penjajah dengan nama lain. Kalau hal ini tidak dilakukan, nasib
                penulis  yang  berani  menyuarakan  ketidaksukaan  atau  penentangan
                terhadap  praktik  kolonialisme  itu  akan  mengalami  penangkapan  atau
                penahanan—yang  sangat  mungkin  dan  boleh  jadi  berkali-kali—seperti
                dialami oleh Mas Marco Kartodikromo.
                                                      24
                        Dalam salah sebuah sajaknya yang dimuat di Sinar Hindia pada
                tanggal  23  Desember  1918,  Mas  Marco  memakai  kata  “kafir”  yang
                sangat  mungkin  memang  ditujukan  kepada  pihak  penjajah,  dan
                celakanya kata ini dibaca oleh oknum dari pemerintah Hindia Belanda,
                sehingga  akibatnya  Mas  Marco  harus  menjalani  pemeriksaan  yang
                                                                 25
                dilakukan  oleh  Asisten  Residen  Polisi  Semarang.   Dalam  menjawab
                penyelidikan oleh pihak kolonial itu, Mas Marco mengaku bahwa ada
                salah  penulisan;  yang  seharusnya  “fakir”  telah  salah  ditulis  sebagai
                “kafir”. Akan tetapi, kalau sajaknya dibaca dengan lebih seksama, secara




                                              Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya   173
   176   177   178   179   180   181   182   183   184   185   186