Page 176 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 176
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
ketinggalan keberadaan atau eksistensinya, khususnya jika dibandingkan
dengan novel, karena drama yang berusia paling awal ini bertanda tahun
pembuatan dan penerbitan pada 1901 yang artinya hanya tertinggal lima
tahun. Drama yang ditulis oleh F. Wiggers—yang lagi-lagi barangkali
akan diragukan “keindonesiaannya” sebab ia adalah seorang Indo—dan
berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno ini dilihat dari struktur
dramaturginya dapat dikatakan sudah sangat modern, bahkan jauh lebih
modern dibandingkan drama-drama Indonesia sesudahnya.
Namun demikian, kandungan yang tersirat dalam Lelakon Raden
Beij Soerio Retno belum menunjukkan suatu kesadaran nasional
sebagaimana ditunjukkan oleh drama Indonesia yang selama ini telah
disebut sebagai drama yang pertama, yaitu Bebasari karya Roestam
Effendi yang terbit pertama kali tahun 1927. Secara struktur dan gaya
ucapnya, drama karya F. Wiggers ini dapat dikatakan memang lebih
memadai dibandingkan karya Roestam Effendi itu namun, sekali lagi,
jiwa keindonesiaan atau kenasionalannya hampir tidak ada. Dan karena
terlalu “modern”nya drama karya F. Wiggers ini untuk ukuran masa
itu, ada kecurigaan yang timbul bahwa drama ini jangan-jangan
merupakan karya saduran dari karya Eropa yang artinya, keorisinalan
18
drama ini masih banyak yang meragukan. Namun demikian, selama
belum dapat dibuktikan bahwa karya ini merupakan sebuah saduran
atau bahkan mungkin sebuah plagiat, ia tetap harus disebut sebagai
bagian dari khazanah Sastra Indonesia Modern dan termasuk drama
yang mula-mula di Indonesia.
4.2.4. Film
Sebagai bentuk kesenian baru yang tidak lagi berdimensi satu
namun berwujud multidimensi, film sudah mulai diperkenalkan kepada
publik Indonesia tidak berselang lama dari awal diperkenalkannya film
kepada khalayak di luar negeri. Dalam buku Film Indonesia: Bagian I
(1900-1950) disebutkan bahwa film mulai dipertunjukkan pada awal
Desember tahun 1900 di Batavia, di tahun pertama politik etis
19
diberlakukan. Akan tetapi, film cerita—yang masih bisu—baru
diproduksi di Hindia Belanda pada tahun 1926, “ketika bioskop telah
makin memperlihatkan diri sebagai gejala kultural baru dari kehidupan
20
kota.” Baru pada tahun 1936, atau sepuluh tahun kemudian, produksi
film cerita mulai diproduksi secara teratur namun tentu tetap masih
dengan keterbatasan sarana dan prasarana sinematografisnya. Kendati
demikian, meski masih serba sederhana, film sungguh sudah berperan
168 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya