Page 23 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 23
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
1
pergerakan kebangsaan Indonesia telah pula dihasilkan . Mahasiswa
yang baru berumur 26 tahun tetapi telah dianggap sebagai seorang tokoh
pergerakan nasional ini memulai pidatonya dengan uraian singkat
tentang betapa anak-anak sekolah menengah di Indonesia—negeri yang
secara resmi masih disebut “Hindia Belanda” —telah aktif dalam
berbagai corak kegiatan politik. Sejak menginjak sekolah menengah
pertama (MULO) mereka telah ikut organisasi kepemudaan yang
memperlihatkan kecenderungan nasionalisme. Berbeda halnya dengan
anak-anak Eropa seusia mereka. Anak-anak Eropa telah mulai sibuk
mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. “ Dalam
masyarakat kolonial”, kata sang pesakitan yang telah pula umum diakui
di tanah airnya sebagai salah seorang tokoh pergerakan kebangsaan,
” anak muda dengan cepat belajar realitas yang keras. Mereka
melihat dengan mata kepala sendiri kesengsaraan dan
kemiskinan massa yang terinjak-injak; betapa mereka mula-
mula menerima nasib dan betapa selama puluhan tahun secara
pasif menanggung siksaan dari sistem yang membawa
kematian. Mereka merasakan dan memahami kesengsaraan dan
penderitaan rakyat mereka”.
Pada hal mereka, kata pemimpin muda yang kemudian dikenal
dengan penggilan keakraban, Bung Hatta , “berasal dari pejabat kelas
atas atau keluarga pribumi yang kaya”. Anak –anak muda kalangan atas
ini harus “memilih apakah meniru orang tua mereka dalam kehidupan
yang rutin, dengan senang hati dan penuh kepatuhan mengikuti secara
membabi buta segala perintah dari atas , menghindar dari segala corak
idealisme dan hanya berfikir tentang karir dan cara untuk
mendapatkan kepuasan. “
Setelah menyampaikan observasi atas realitas historis ini Hatta
pun sampai juga pada interpretasi tentang mengapa ketimpangan
generasi ini bisa terjadi, bahkan di kalangan atas masyarakat pribumi
sekalipun. “Inilah ironi dari masyarakat kolonial”, katanya.
“Masyarakat ini bahkan dikecam oleh mereka yang dilahirkan di
kalangan pejabat.” Tetapi mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah mereka
tidak mempunyai rasa terima kasih? “ Sama sekali bukan demikian”,
kata Hatta. “ Kesadaran nasional berbicara lebih keras dari suara darah
(keturunan).” Kalau telah begini maka tampaklah betapa “ dalam cita-
nasional segala motif dan pertimbangan yang bersifat pribadi harus
tersingkir”. Hanyalah dalam masyarakat kolonial ketimpangan yang
seperti ini bisa terjadi. Tidak ada dilema seperti ini, kata Hatta, di negeri
yang merdeka, karena “di sini perbedaan pandangan bisa diungkapkan
sejujur mungkin”. Anak-anak jajahan mempelajari juga pengalaman
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 15