Page 27 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 27

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern




                        Pendekatan  wacana  dan  pemikiran  yang    langsung  pada
                pemecahan masalah tanpa merasa perlu memberi argumen berdasarkan
                realitas  empiris  boleh  dikatakan  suatu  kecenderungan  yang  dominan.
                Ketika  kehidupan  kekotaan  yang  bersifat  pluralistik  dan  hirarkis  yang
                berdasarkan ras  telah memancarkan suasana baru hasrat untuk menjadi
                bagian  yang  menguntungkan  dari  suasana  itu  bisa  terasa    menantang
                juga.   Apalagi dalam  suasana yang telah melampaui  keterikatan pada
                masyarakat tradisonal dan   mulai memasuki  zaman kebudayaan-cetak.
                Ketika zaman ini telah dimasuki berita dan informasi tentang negeri lain
                telah  bisa  diketahui  dari  kejauhan  bahkan  pemikiran  baru  bisa
                didapatkan tanpa harus mendengar langsung dari si pembicara.
                        Secara simbolik tahun 1912 boleh dianggap sebagai saat ketika
                perubahan dari alur pemikiran yang  bertolak dari pemecahan terhadap
                realitas    empiris  yang  tidak  dikatakan  itu.  Perubahan  dalam  irama
                pemikiran  ‘anak  Hindia’  yang  mengimpikan  “kemajuan”—suatu  nada
                pemikiran  yang  kemudian    (di  tahun  1930-an)  dituduh  dokter  Amir,
                bekas  ketua  Jong  Sumatranen  Bond,  sebagai    “membeo”  kebudayaan
                Barat—terjadi ketika Suwardi Suryaningrat  menanggapi dengan sinisme
                yang tajam kebanggaan historis Belanda,  yang  berhasil “100 tahun yang
                lalu”  mengusir  kekuasaan  Prancis  (Napoleon).“Jika  saya  seorang
                Belanda”,  katanya  “saya  tidak  akan  merayakan  kemerdekaan  bangsa
                saya  di  tengah-tengah  rakyat  jajahan”.  Tetapi    ketika    “Als  ik  eens
                Nederlander was “ dilansir dalam terjemahan bahasa Melayu, seakan-akan
                tiba-tiba saja hakikat dari realitas kolonialisme telah terpampang begitu
                saja.  Siapakah  yang  bisa  disalahkan  kalau  dalam  harapan  memasuki
                “dunia maju” itu ingatan akan perlawanan melawan kolonialisme  bisa
                muncul juga? Maka Suwardi pun disingkirkan, meskipun ia dibolehkan
                memilih negeri  Belanda. Tetapi semantara itu romantisme “kemajuan”
                telah mengalami perobahan yang drastis juga.
                        Bukanlah  suatu  kebetulan  jika  ketika  fakta  kehidupan    yang
                berada  di  bawah  kolonialisme    yang  diperlihatkan,  meskipun  hanya
                dalam bentuk sindiran (“ jika saya seorang Belanda”), keinginan untuk
                merumuskan  siapa  “kita”  yang  sesungguhnya  mulai  pula  dilakukan.
                Siapakah  “bangsa  Hindia”  itu?  Kata  ini  hanya  diucapkan  dan
                tampaknya  ditujukan  bagi  penduduk  kota,  yang  telah  berada  dalam
                suasana  kebudayaan cetak. Siapakah “bangsa Hindia” itu sebagai suatu
                kesatuan  sosial  yang    merasa  telah  terlepas  dari  ikatan  tradisional?
                Ketika inilah realitas empiris baru ini  dirumuskan.  Indische Partij (1912)
                pun  tampil  dengan  memudahkan  masalahnya.  Dengan  tegas  partai  ini
                membedakan trekkers,  yang mundar mandir dari Hindia ke negeri lain,
                dengan blijvers,  sang penetap yang bisa dianggap sebagai “bangsa” dari




                                              Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya   19
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32