Page 30 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 30

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern



                        Tetapi memang sejak pertengahan 1930-an atau lebih tepat 1933
                perdebatan ideologis  praktis telah  terhenti. Ketika itu para ideolog dan
                pemimpin  partai  yang  dianggap  radikal  telah  diasingkan.  Kalau  di
                pertengahan 1920-an tokoh komunis, yang dicurigai akan berontak—dan
                memang  kemudian  terjadi  di  tahun  1926  (di  Banten)  dan  1927  (di
                Silungkang, Sumatra Barat)—telah lebih dulu dibuang ke Digul,  maka
                pada tahun 1933 tokoh-tokoh utama dari partai yang menjalankan taktik
                non-kooperator  ditangkap  dan  diasingkan.    Sukarno  ke  Flores  dan
                kemudian  ke  Bengkulu,  Hatta  dan  Sjahrir  dan  kawan-kawan  sesama
                pimpinan  Pendidikan  Nasional  Indonesia  (PNI-Baru)  ke  Digul.  Tetapi
                kemudian—konon  karena  protest  para  intellektual  Belanda  yang  tidak
                bisa  menerima  cendekiawan  didikan  Belanda  dibuang  ke  tempat  yang
                dianggap sedemikian merendahkan--    Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke
                Banda-Neira.  Dalam  pengasingan  ini  mereka  tetap  menjalankan
                aktivitas sebagai intelektual – Hatta menulis buku filsafat Yunani, Sjahrir
                menulis  untuk  Poedjangga  Baroe    dan  Sukarno  sibuk  mempelajari
                pemikiran  Islam  dan  mulai  merenungkan  ideologi  bahkan  landasan
                kenegaraan yang mungkin bisa merangkul semua—tetapi sementara itu
                perdebatan  ideologis  memberi  kesan  seakan-akan    telah  terlepas  dari
                ikatan kepartaian.
                        Begitulah sejak diperlakukannya politik  rust en orde  dengan keras
                dan bahkan boleh dikatakan konsisten juga, corak wacana pun berubah,
                meskipun  rasa  kebangsaan  tetap  dipupuk  dan  hasrat  kemerdekaan  tak
                dibiarkan  mati.  Dalam  suasana  inilah  para  nasionalis  yang  telah
                melibatkan  diri  dalam  dunia  pendidikan  mengecam  betapa  sistem
                pendidikan  yang  diperkenalkan  Belanda,  yang  dikatakan  menekankan
                “materialisme,  individualisme,  rasionalisme,  intellektualisme”  telah
                menjauhkan  generasi  muda  dari  landasan  kebudayaan  mereka  sendiri.
                Tetapi  seketika  kritik  pedas  yang  dihasilkan    Kongres  Pendidikan  ini
                dilontarkan ke khalayak ramai berbagai macam reaksi pun datang. Maka
                di tengah kegersangan yang dirasakan dalam wilayah politik pergerakan
                kebangsaan apa yang kini dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan” bisa
                juga  mewarnai kehidupan intelektual bangsa. Bertolak dari keharusan
                perlunya  “semboyan yang tegas”  dan didasari oleh landasan  akademis
                yang  menyatakan      bahwa  “  masa  pra-Indonesia  telah  mati  semati-
                matinya”,  seorang  pengarang  dan  penyair  muda  –usia,    Sutan  Takdir
                Alisyahbana  tampil  dengan    mengingkari  realitas    persambungan
                sejarah.  Kini  Indonesia  telah  lahir  dan  bangsa    baru  ini  harus
                menciptakan dunianya yang baru pula. Dengan semangat polemik yang
                menyala-nyala ia   dengan tegas ingin menciptakan Indonesia yang yang
                telah  diperkaya  oleh  nilai-nilai  esensial  dari  dunia  Barat—dunia
                peradaban yang telah menampilkan diri sebagai pemenang.



                22     Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35