Page 35 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 35
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
ideologi” perdebatan ideologi lebih merupakan perbenturan pemikiran
maka dalam “zaman demokrasi parlementer”, perdebatan ideologi telah
menyangkut masalah kekuasaan. Di samping berbagai corak pemikiran
kreatif yang bersifat independen, tidak sedikit pula pernyataan dan
keputusan politik yang dibuat di dalam masa kedua periode itu
mewarnai kehidupan bangsa. Politik luar negeri yang “bebas aktif”
dijalankan. Peralihan yang spontan dari negara “federal”, yang
terbentuk karena intervensi agresi Belanda, menjadi “negara kesatuan”
terlaksana, meskipun unsur separatis RMS sempat berontak. Dalam
suasana ini pula sebuah manifesto kebudayaan yang menekankan sifat
keterbukaan kebudayaan Indonesia dengan berani dikeluarkan. “ Kami
adalah ahli waris yang syah dari kebudayaan dunia”, katanya. Maka
mestikah diherankan kalau ketika ini pula novel modern membebaskan
diri dari obsesi pada romantic love yang terbebas dari keharusan adat
yang dikatakan tradisional? Revolusi adalah kisah patriotisme romantik
yang mengasyikkan. Tetapi dalam kepadatan tumpahan pemikiran dan
bahkan ideologi, yang terjadi dalam zaman yang dikatakan rejim
penggantinya sebagai “demokrasi liberal” ini, ternyata tidak selamanya
bisa membawa ketenangan politik.
Dalam kajian Herbert Feith dan Lance Castles dikatakan bahwa
antara tahun 1945-1965 meskipun berbagai masalah kenegaraan telah
menjadi pemikiran yang kadang-kadang diperdebatkan, tetapi ada lima
streams of political thought dan tujuh masalah yang diperdebatkan. Lima
“aliran” (jika istilah politik Indonesia yang diperkenalkan Geertz dalam
kancah ilmiah internasional) ideologis yang mewarnai kehidupan politik
Indonesia, ialah apa disebut kedua editor itu “ nasionalisme radikal”
(antara lain Sukarno), “tradisionalisme Jawa” (antara lain Supomo),
“Islam”(antara lain Natsir dan pernyataan NU), “ Sosialisme demokrasi
(antara lain Sjahrir), dan “Komunisme” (hanya tulisan-tulisan Aidit
yang dikutib). Sementara itu buku ini juga mencatat berbagai corak
pemikiran, yang terlepas dari ideologi formal kepartaian tentang hal-hal
4
yang menyangkut masalah kenegaraan.
Sebagai sebuah political event dalam konteks negara yang baru
menginjak proses demokratisasi Pemilihan Umum 1955 sangat berhasil.
Namun dinamika politik yang dihasilkan oleh Pemilu bahkan semakin
menjauhkan negara dari cita-cita bersama. Jika dibeberapa daerah
terjadi berbagai tuntutan yang dengan cepat dituduh pemerintah pusat
sebagai “pemberontakan”, maka di tingkat pusat krisis kabinet yang
saling bergantian pun tak terelakkan. Bung Karno pun semakin tak sabar
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 27