Page 37 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 37
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
pedesaan Jawa Tengah dan Timur—serta semangat “konfrontasi“
terhadap pembentukan Malaysia, yang dituduh sebagai alat Oldefos ,
petaka di pagi buta 1 Oktober 1966 terjadi. Indonesia pun tergelincir
dalam situasi konflik dan akhirnya Pemimpin Besar Revolusi, yang
telah sempat pula diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, memilih
berhenti daripada membawa negara semakin terlarut dalam situasi
konflik politik internal sesama anak bangsa.
Indonesia pun memasuki “zaman baru”. Orde Baru telah
berdiri. Zaman serba revolusioner telah digantikan oleh “era
pembangunan semesta”. Kini pembangunan ekonomi bukannya
pemupukan semangat revolusi yang menjadi pegangan. Zaman
teknokratis yang developmentalis telah bermula. Dalam perjalanan
karirnya Orde Baru tampil juga sebagai pengubah peta Indonesia—kota-
kota baru dan jalan serta jembatan baru dibuat, sedangkan kota-kota
lama diperbesar. Tetapi dalam suasana ini pemikiran yang dianggap
pantas diketengahkan hanyalah yang berkaitan dengan
“pembangunan”. Meskipun sejak awal telah tampak dominasi militer
yang ber- multi-fungsi . Setelah memberikan suasana keterbukaan
relatif maka ketika waktunya telah sampai, seperti halnya dengan
Demokrasi Terpimpin yang telah dinamakan Orde Lama, Orde Baru
pun menampilkan diri sebagai “negara yang serakah” Inilah negara
yang menjadi pemegang hegemoni makna (the hegemony of meaning) dan
monopoli wacana (the monopoly of discourse). Negara adalah penentu
makna Pancasila,yang telah dijadikan “azas tunggal” dan karena itu
merupakan bahan utama indoktrinasi.
Ketika waktunya telah datang dan Orde Baru pun harus
mengakhiri karirnya. Ketika Presiden Soeharto menyampaikan pidato
pengunduran dirinya berarti Republik Indonesia selama hampir 40
tahun , sejak 15 Juli 1959 sampai 11 Maret 1997,berada di bawah
kekuasaan dua “negara serakah”, yang mencoba untuk menguasai
semua—mulai dari politik, ekonomi sampai dengan wacana
kemasyarakatan. Meskipun kedua regim secara ideologis menyandarkan
diri kepada UUD 1945 dengan Pembukaan yang mengatakan “ Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat” , tetapi dengan gaya yang
berbeda-beda kedua regim menjadikan diri mereka sebagai penentu alur
pemikiran sosial-politik. Bahkan dalam lapangan kebudayaan pun
kedua regim menempatkan diri sebagai “guru ” yang mengharuskan
anak-anaknya untuk patuh pada ajaran yang diberikan.
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 29