Page 38 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 38

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern



                         Bisalah dibayangkan juga  kalau dalam situasi ini suasana dan
                corak pemikiran yang terlontarkan sangat tergantung pada turun naiknya
                gaya otoritarianisme yang meliputi dunia kekuasaan bahkan juga dalam
                wilayah di luar bidang kekuasaan. Jika Demokrasi Terpimpin ter-obsesi
                oleh   pemikiran yang serba revolusioner, maka dengan kecenderungan
                develop  mentalisme  teknokratis  yang  dipeliharanya  Orde  Baru  hanya
                tertarik  pada  hal  dan  pemikiran  yang  menjanjikan  “pembangunan”
                dalam pengertian suatu yang bisa dilihat.

                        Maka  bisalah  dipahami  kalau  ketika  masa  panjang  dari  corak
                pemerintahan yang  memegang hegemoni makna itu telah berakhir para
                cendekiawan  dan  pemikir  harus  mengais-ngais  dalam  usaha  mencari
                idee-ide  baru  yang  segar.  Mestikah  pula  diherankan  kalau  mereka
                tertatih-tatih ketika mencoba membebaskan diri  dari sistem pemikiran
                dan  wawasan  yang  telah  rutin  dan  bahkan  tak  jarang  juga    telah
                dirutinkan.


                Penutup
                        Baik sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan maupun sebagai
                sebuah  usaha  untuk  merekonstruksi    pengalaman  masyarakat  dalam
                perjalanan zaman sejarah mengharuskan sikap yang objektif—kejujuran
                mengungkapkan  peristiwa  yang  tidak  akan  terulang  lagi.  Tetapi
                bagaimanakah  akan  menghalangi  menyusupnya    subjektivitas  ketika
                kisah  yang  mungkin  ditulis  seobjektif  mungkin  itu  telah  direnungkan?
                Maka ketika itulah makna sejarah datang menyelip dan di saat itu pula
                pelajaran  dari  peristiwa  di  masa  lalu  bisa  menggugah  perasaan  dan
                membangkitkan pikiran.
                        Kalau telah begini bagaimanakah akan  menghalangi kekaguman
                akan kepekaan perasaan dan ketajaman pikiran dari mereka yang pernah
                disebut  sebagai  “perintis  kemerdekaan”.  Mereka--anak  jajahan  –
                membayangkan    dan  memperjuangkan  terbentuknya  sebuah  “bangsa”
                dari  pecahan  sekian  puluh  dan  bahkan  sekian  ratus    kesatuan  etnis.
                Bagaimanakah  mereka  bisa  membayangkan  akan  adanya  dan  semakin
                kuatnya  —seperti  kata  seorang  pujangga  Perancis  –  “le  desir  de  vivre
                ensemble”.   Maka ketika “hasrat   untuk   hidup bersama” semakin kuat
                dirasakan  maka ketika  itu keinginan kebebasan dari kolonialisme pun
                tak  tertahankan.  Berbagai  pemikiran  yang  kreatif    dikemukakan  dan
                akhirnya ketika waktunya telah datang perjuangan dengan “darah dan





                30     Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43