Page 31 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 31
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Jika direnungkan kembali terasa juga bahwa di saat “polemik
kebudayaan” itu terjadi di waktu itu pula sesungguhnya pemahaman
historis tentang makna dari kehadiran “bangsa baru” , yang dinamakan
“Indonesia” ini diperdebatkan. Apakah Indonesia adalah sebuah bangsa
yang “telah jadi” (in the state of being) ataukah sesungguhnya masih
dalam “tahap pembentukan” (the state of becoming?) Terlepas dari
keyakinan akademisnya yang sesungguhnya, ketika Sutan Takdir
Alisyahbana mengatakan “masa prae Indonesia telah mati semati-
matinya” ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa sudah waktunya
Indonesia menempatkan dirinya sebagai sebuah bangsa yang sedang
berada dalam proses nation building. Inilah bangsa yang telah berada
pada tahap perjuangan ketika corak dan landasan kehidupan dan corak
kebudayaan bangsa harus ditentukan. “Indonesia” adalah sebuah
realitas yang telah selesai. Karena itulah bangsa yang telah diciptakan ini
harus meletakkan landasan bagi terjadinya proses modernisasi yang bisa
diandalkan dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain.
Tetapi bagi para penentangnya Indonesia adalah sebuah bangsa
yang masih berada dalam proses nation formation, ketika segala sumber-
sumber yang bermanfaat dari tradisi dan kenangan sejarah daerah-
daerah harus dipakai dan dijadikan sebagai milik bersama. Inilah
Indonesia yang masih memerlukan berlangsungnya berbagai corak
process of inclusion timbal balik—ketika unsur –unsur integratif dari
berbagai daerah dan kebanggaan etnis dijadikan sebagai milik bersama.
Mestikah diherankan kalau lontaran-lontaran pemikiran yang terlempar
dalam “polemik kebudayaan” ini sampai kini masih relevant.
Sementara itu dunia sastra mulai pula menginjak zaman baru.
Dengan corak dan gaya yang berbeda-beda, sejak awal pertumbuhan di
zaman modern puisi asyik dengan nyanyian cinta tanah air—mula-mula
“Andalas ku, sayang” kemudian “Indonesia”. Sedangkan prosa,
terutama yang diwujudkan dalam bentuk novel, mengambil romantic love
yang bersifat pilihan pribadi sebagai simbol dari sikap kritis terhadap
konservatisme adat tradisional. Romantic love adalah pula simbol dari
keinginan melangkah untuk memasuki dunia baru, yang “maju dan
modern”. Tetapi ketika perkembangan nasionalisme telah semakin
meluas dan di saat kesadaran sosiologis tentang modernitas telah
semakin mendalam juga, pertanyaan “ke mana arah kebudayaan ” tidak
selamanya terhindarkan. Novel Belenggu, ciptaan Armijn Pane, yang
diterbitkan menjelang kejatuhan Hindia Belanda, hanya diakhiri
pertanyaan “untuk jalan ke arah manakah pintu ini terbuka?”. Maka
begitulah novel ini mempertanyakan rasa kepastian yang
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 23