Page 146 - KIRIMAN CATATAN PRAKTIK BUDDHADHARMA DARI LAUTAN SELATAN
P. 146

Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan


            membawa payung di tangannya. Itulah tata cara seorang biksu dalam
            perjalanan.

                 Jika  tangannya  tidak  terlalu  penuh,  dia  juga  membawa  kendi
            untuk air bilas, sepatu kulit dalam tas, sambil membawa tongkat kayu
            berlogam dan berkelana tanpa beban … 13


                 Saat  musim  bepergian  ke  tempat-tempat  ziarah:  Rajagriha,
            pohon  Bodhi,  Gridhrakuta,  Taman  Rusa,  tempat  suci  di  mana
            pepohonan  Sala  berubah  menjadi  putih   bagaikan  sayap  burung
                                                    14
            bangau (di Kusinagara), dan hutan sunyi yang dipersembahkan untuk
            tupai. 15

            13   Di sini ada kalimat yang artinya tidak begitu jelas buat saya. Kata-kata 鳥
            喩 月 經 雅 當 其 況 (niao yu yue jing ya dang qi kuang) mungkin berarti
            demikian: Caranya persis sesuai dengan apa yang ada dalam ‘Perumpamaan
            Mengenai Burung Gagak – Sutra Mengenai Bulan.’ Pengulas hanya mengatakan
            bahwa itu adalah nama dari suatu sutra, yakni Sutra Mengenai Perumpamaan
            Burung Gagak dan Bulan, di mana menurut pengulas itu ada dalam Cataloque
            of  the  Tripitaka,  Jilid  II  yang  diterbitkan  di  masa  Dinasti  Ming  (Katalog
            Nanjio No. 948, Sutra Candropamana). Namun nampaknya sutra ini tidak ada
            hubungannya dengan kalimat di atas.

            14   Ini mengacu pada cerita yakni sewaktu Buddha wafat, seketika bunga-
            bunga  bermekaran  walaupun  bukan  musimnya  (Sutta  Mahaparinibbana  V,
            dalam The Sacred Books of the East, Jilid XI).
            15   Yang dimaksud ‘hutan tupai’ adalah Kalantaka-nivapa atau Venuvana.
            Kalantaka atau Kalandaka adalah sejenis tupai.

            Sanghabhedakavastu,  Bab  VIII  (Katalog  Nanjio  No.  1123)  memuat  cerita
            mengenai  hutan  ini:  Waktu  itu,  hutan  bambu  ini  adalah  milik  seorang
            yang  kaya.  Ketika  Raja  Bimbisara  masih  seorang  pangeran,  dia  biasanya
            menghabiskan waktu di hutan tersebut dan dia ingin pemiliknya memberikan
            hutan itu kepadanya, tapi ditolak. Ketika dia naik takhta, dia mengambil alih
            hutan itu secara paksa. Pemiliknya merasa jengkel dan meninggal karena
            sakit  jantung.  Setelah  meninggal,  dia  terlahir  sebagai  seekor  ular  untuk
            membalas dendam pada raja. Di musim semi bunga-bunga tumbuh indah
            dan raja pergi ke taman bersama beberapa dayang wanita. Raja lalu tertidur
            setelah berjalan-jalan menikmati taman. Semua pengiring meninggalkan raja
            karena terpesona oleh bunga-bunga dan hanya ada seorang pengiring yang


                                            132
   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151