Page 313 - KIRIMAN CATATAN PRAKTIK BUDDHADHARMA DARI LAUTAN SELATAN
P. 313
BAB XXXII
UPACARA PELAFALAN DOA 238
KEBIASAAN memuja Buddha dengan melafal nama beliau berulang-
ulang sudah dikenal di Tiongkok karena telah diturunkan (dan
dipraktikkan) sejak zaman dahulu, tetapi tidak ada kebiasaan
memuja Buddha dengan melafalkan kebajikan beliau. (Mengingat
kebajikan beliau adalah lebih penting daripada sekadar melafal
nama beliau) karena kenyataannya, sekadar mendengar nama
beliau tidak menolong kita merealisasi prajna; sedangkan dengan
melafalkan kebajikan beliau dalam kidung yang deskriptif, kita
dapat memahami betapa agung kebajikan beliau. Di India, para biksu
melakukan puja di cetiya dan doa pada sore hari atau senja hari.
239
Semua biksu keluar dari gerbang wihara dan berjalan mengitari
stupa tiga kali, mempersembahkan dupa dan bunga. Mereka
semua berlutut, dan salah satu dari mereka yang dapat melantun
dengan baik (pemimpin doa), mulai melafalkan puji-pujian yang
menggambarkan kebajikan Guru Agung dengan suara yang merdu,
murni dan nyaring, kemudian berlanjut melantunkan 10 atau 20
sloka. Mereka satu persatu kembali ke tempat di wihara di mana
mereka biasa berkumpul. Setelah semuanya duduk, pemimpin doa
naik ke singgasana, membacakan sebuah sutra singkat. Singgasana
yang berproporsi sempurna ditempatkan di dekat kepala wihara.
Di antara sutra-sutra yang dibacakan dalam kesempatan tersebut,
yang sering digunakan adalah ‘Doa Tiga Bagian.’ Ini dianjurkan oleh
238 Terjemahan ke bahasa Perancis oleh M. Fujishima, seorang biksu Jepang,
dapat ditemukan dalam Journal Asiatique (November-Desember 1888).
239 Dalam teks Yi Jing tertera ‘Caitya-vandana,’ di mana cetiya adalah
bangunan yang berisi relik Buddha atau relik orang suci. Mengenai penjelasan
Yi Jing untuk kata cetiya, lihat Bab XXV halaman 260, dan mengenai delapan
tempat ziarah, lihat Bab XX halaman 241-242, catatan kaki 158.
299