Page 68 - KIRIMAN CATATAN PRAKTIK BUDDHADHARMA DARI LAUTAN SELATAN
P. 68
Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan
960 Masehi, Raja Xilidaxialitan mengirim upeti ke Tiongkok. Pada
18
tahun 992, daerah ini diinvasi oleh Jawa. Di tahun 1003, dua utusan
dari San Fo Qi menceritakan bahwa sebuah wihara Buddhis didirikan
dan didedikasikan agar kaisar Tiongkok berumur panjang dan kaisar
memberi nama untuk wihara tersebut, juga memberi sebuah genta
yang dicetak khusus untuk itu. Di tahun 1017, seorang utusan dari
sana membawa berbundel-bundel buku Sanskerta, yang dilipat di
antara dua papan kayu. Pada tahun 1082, tiga utusan datang untuk
bertemu kaisar, dan mempersembahkan bunga teratai dari emas (jin
19
lianhua) yang berisi mutiara, kamper dan sa-tien.’
The Descriptions of the Barbarians, yang ditulis di masa Dinasti
20
Song (960-1279 Masehi), memuat cerita yang panjang mengenai San
Fo Qi, yang intinya sama dengan catatan sejarah Dinasti Song di atas.
Menurut buku ini, San Fo Qi terletak di sebelah selatan Quanzhou ;
21
masyarakatnya mengenakan kain katun (sarung), dan menggunakan
payung sutra. Mereka berperang di laut maupun darat, dan organisasi
militernya sangat baik. Bila raja meninggal, masyarakat mencukur
kepala mereka sebagai tanda berkabung. Mereka yang ingin mati
mengikuti sesamanya, membakar diri dalam tumpukan bahan bakar.
Kebiasaan ini disebut ‘tong shengsi’ yang artinya ‘hidup dan mati
bersama.’ 22
18 Mungkin kedengaran seperti Sri-kula-harit atau Sri-gupta-harita.
19 Menurut The History of Liang (Sejarah Dinasti Liang, 502-556 Masehi),
Kandari di pantai timur Sumatra, mengirim utusan dan menghadiahkan
bunga ‘fuyan’ dari emas. Kata ‘fuyan’ sering digunakan untuk bunga teratai.
20 Judul bahasa Tionghoa: Zhufan Zhi, oleh Zhao Rugua. Itu adalah buku
yang agak langka dan saya berhutang budi kepada Dr. Rosthorn dari Vienna
karena meminjamkannya kepada saya.
21 Quanzhou dan teluknya (= Zayton menurut Marco Polo), di Fujian, terletak
pada garis lintang 25° utara, berseberangan dengan Formosa Utara.
22 Atau ‘saling berbagi hidup dan mati.’ Di pulau Bali ada kebiasaan ‘satya’ dan
‘bela,’ yang secara umum artinya ‘membakar tubuh sendiri setelah kematian
orang lain,’ di mana tak diragukan lagi ini adalah tradisi yang bersumber
54