Page 7 - modul XI smt 2 Pergerakan Nasional Indonesia
P. 7
nasional. Ia mempunyai hak luar biasa untuk menindak setiap gerakan nasional yang dianggap
mengganggu ketentraman dan ketertiban. Partai politik dikenakan larangan rapat.
Surat kabar diberangus dan dibakar. Para pemimpinnya ditangkap dan dibuang. Tindakan
pemerintah berupa penangkapan dan pembuangan para pemimpin politik inilah yang menyebabkan
hubungan partai-partai politik dengan massa rakyat terputus. Pemimpin dan pengikut dipisahkan dari
kegiatan politik. Polisi rahasia atau Politieke Inlichtingen Dienst (PID) selalu memata-matai setiap
gerakan dan siap menindak.
Perjuangan moderat dan parlementer ini berlangsung dari tahun 1935- 1942, pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-1942). Tjarda cerdik dan
tajam, dan ia tetap hanya memberi peluang secara parlementer serta terbatas. Hingga saat pemerintah
Hindia Belanda gulung tikar, pemberian hak parlementer penuh kepada wakil-wakil rakyat Indonesia
tidak pernah menjadi kenyataan.
Di antara partai-partai politik yang melakukan taktik kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda
adalah Persatuan Bangsa Indonesia dan Partai Indonesia Raya. Kelompok Studi Indonesia di Surabaya
menyarankan agar perbedaan antara gerakan yang berasas kooperasi dan nonkooperasi tidak perlu
dibesar-besarkan. Yang penting tujuan organisasi sama yaitu memperjuangkan pembebasan rakyat dari
penderitaan lewat kesejahteraan ekonomi, sosial budaya, dan politik.
Untuk melaksanakan cita-cita kesejahteraan ekonomi maka Persatuan Bangsa Indonesia (PBI)
mendirikan bank, koperasi, perkumpulan tani, dan nelayan. Pemakarsanya adalah Dokter Sutomo,
pendiri Budi Utomo. Pada tahun 1932, anggota PBI yang berjumlah 2500 orang dari 30 cabang
menyelenggarakan kongres, kongres tersebut memutuskan bahwa PBI akan tetap menggalakkan koperasi,
serikat kerja, dan pengajaran. Untuk mencapai tujuan itu maka tidak ada jalan lain yang dilakukan kecuali
pendidikan rakyat diperhatikan dengan mengadakan kegiatan kepanduan.
Pada tahun 1935 terjadi penyatuan antara Budi Utomo dan PBI. Dalam sebuah partai yang disebut
Partai Indonesia Raya (Parindra), Ketuanya adalah Dokter Sutomo. Organisasi-oraganisasi lain yang ikut
bergabung dalam Parindra adalah: Serikat Sumatera, Serikat Celebes, Serikat Ambon, Kaum Betawi, dan
Tirtayasa. Bergabungnya berbagai partai membuat Parindra semakin kuat dan anggotanya tersebar di
mana-mana. Jumlah anggotanya meningkat pesat. Pada tahun 1936 jumlah anggotanya berkisar 3425
orang dari 37 cabang. Cita- cita Parindra pun semakin tegas, yaitu mencapai Indonesia merdeka.
Dalam kongresnya tahun 1937, Wuryaningrat terpilih sebagai ketua dibantu oleh Mohammad
Husni Thamrin, Sukarjo Wiryapranoto, Panji Suroso, dan Susanto Tirtoprojo. Kerja sama antar anggota
cabang-cabangnya menjadikan Parindra sebagai partai politik terkuat menjelang runtuhnya Hindia
Belanda. Di samping Parindra, juga muncul organisasi lain seperti Partindo. Namun karena desakan
pemerintah akhirnya partai itu bubar pada tahun 1936. Para pemimpinnya meneruskan perjuangan dengan
mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1937. Tokoh-tokoh
yang duduk dalam Gerindo ialah Mr. Sartono, Mr. Mohammad Yamin, dan Mr. Amir Syarifuddin.
Pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Limburg Stirum (1916-1921) dibentuk Volksraad atau
Dewan Rakyat, yaitu pada tanggal 18 Mei 1918. Anggota dewan dipilih dan diangkat dari golongan orang
Belanda, Indonesia, dan bangsa-bangsa lain. Orang Indonesia yang menjadi anggota mula-mula
berjumlah 39%, kemudian bertambah dalam tahun-tahun selanjutnya. Tujuan pembentukan Dewan
Rakyat adalah agar wakil-wakil rakyat Indonesia dapat berperan serta dalam pemerintahan. Akan tetapi,
dewan ini tidak mencerminkan perwakilan rakyat yang sesungguhnya, karena yang berhak memilih
anggota dewan adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah. Wakil-wakil bumiputra tidak banyak
mempunyai hak suara.
Meskipun demikian, partai politik yang berazaskan kooperatif mengirimkan wakil-wakilnya untuk
duduk dalam Dewan Rakyat. Mereka menyalurkan aspirasi (cita-cita, harapan, keinginan) partainya