Page 404 - Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 by Ibnu Katsir_Neat
P. 404

telah ditentukan, yang di dalamnya tidak boleh mengerjakan umrah." Isnad ini
                       adalah shahih.

                              Ibnu J arir mengatakan, orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan
                       haji itu Syawwal, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah menghendaki bahwa bulan-bulan
                       itu bukan bulan-bulan umrah, melainkan hanya untuk haji saja, meskipun
                       amalan haji telah selesai dengan berakhimya hari-hari di Mina. Sebagaimana
                       dikatakan Muhammad bin Sirin, "Tidak ada seorang ulama pun meragukan
                       bahwa umrah di luar bulan-bulan haji itu lebih baik daripada umrah pada bulan­
                       bulan haji."

                              Ibnu Aun juga menceritakan, aku pemah bertanya kepada Qasim bin
                       Muhammad mengenai umrah pada bulan-bulan haji, maka ia pun menjawab,
                       "Mereka berpendapat bahwa hal itu kurang sempuma."

                              Sehubungan dengan hal itu penulis (Ibnu Katsir) mengatakan: T elah
                       diriwayatkan dari Umar dan Utsman radhiallahu 'anhuma, bahwa keduanya
                       lebih suka mengerjakan umrah di luar bulan-bulan haji, dan melarang me­
                       ngerjakannya pada bulan-bulan haji. W a llahu a 'lam.
                              Dan firm an-Nya, � E--il � ;),) ::_; � ''Barangsiapa yang menetapkan
                                                                    "
                       niatnya pada bulan itu akan mengeryakan haji.  A rtinya memastikan ihramnya
                       untuk haji. Hal itu menunjukkan keharusan berihram untuk haji. Ibnu J arir
                       mengatakan,  "Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan fardhu di sini
                       adalah keharusan dan kepastian."

                              Mengenai ayat ini, Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
                       ia mengatakan, "Barangsiapa mengerjakan ihram untuk haji atau umrah."
                              Sedangkan Atha' mengemukakan, "Yang dimaksud dengan fardhu itu
                       adalah ihram." Hal senada juga dikatakan oleh Ibrahim an-Nakha'i, adh-Dhahhak,
                       dan ulama lainnya.

                              Masih mengenai ayat tersebut di atas, Ibnu Juraij meriwayatkan dari
                       Ibnu Abbas, bahwa ia pemah mengatakan, "Tidak selayaknya seseorang ber­
                       talbiah untuk haji dan setelah itu ia tetap tinggal di negeri Quar T anah Haram)."

                              Menurut Ibnu Abi Hatim, hal ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud,
                       Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubair. Thawus dan Qasim bin Muhammad mengata­
                       kan, "Yang dimaksud adalah talbiyah."

                              Dan firman-Nya, � ::J� � � ''Maka tidak boleh rafats.  A rtinya, barang­
                                                                                  "
                       siapa yang berihram untuk haji atau umrah, maka hendaklah ia menghindari
                       rafats, yaitu hubungan badan. Sebagaimana firman Allah �:
                       � �L.:..; J1 �.}1 i�l � � �( � "D ihalalkan bagi kamu pada malam hari
                       bulan puasabercampur dengan isteri-isterimu." (QS. Al-Baqarah:  187).
                              Diharamkan pula melakukan hal-hal yang mengantarakan pada rafats,
                       misalnya pelukan, ciuman, dan semisalnya. Demikian juga membicarakannya
                       di hadapan para wanita.                                                     ·









               bnu Katsir Juz 2                                                                               385
   399   400   401   402   403   404   405   406   407   408   409