Page 115 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 115
dibuang oleh kelurganya dari griya dengan upacara patiwangi. Setelah menjadi
masyarakat Sudra, Telaga mulai menemukan arti hidup dan cinta yang
sesungguhnya. Namun takdir memisahlan Telaga dengan Wayan yang mati
mendadak di tahun ke-5 perkawinan mereka.
Novel Tarian Bumi karangan Oka Rusmini, banyak memunculkan persoalan
ketidakadilan gender dan budaya patriarkhi dalam wilayah hukum adat Bali.
Pengkastaan yang masih berlangsung hingga kini, mulai memunculkan polemik
dalam persoalan perempuan Bali yang berkasta Brahmana. Mreka dilarang menikah
dengan lelaki Sudra. Jika ada yang berani melakukan pelanggaran itu, maka
perbuatannya dianggap sebagai aib bagi dirinya dan keluarganya. Mereka juga
dicap negatif oleh masyarakat. Malapetaka bisa menimpa tidak saja pada
pelakunya, namun juga pada keluarga besar dan masyarakat di sekitarnya.
Persoalan-persoalan yang dimunculkan Oka dalam novel ini, Oka dapat dinilai
sebagai pengarang aliran feminisme radikal.
Kritik feminis ideologis mengungkap pelabelan gender pada kaum
perempuan dalam novel ini. Misalnya kaum laki-laki dalam setiap upacara adat
yang menampilkan tarian dengan penari perempuan, mereka kerapkali melontarkan
kalimat kekagumannya pada penari yang sesungguhnya kata-kata tersebut adalah
bentuk dari subordinasi gender (Fakih, 2013) yang merendahkan harga diri penari
perempuan.
Dalam novel ini dimunculkan tokoh lesbian yang bernama Ni Luh Kenten.
Luh Kenten mencintai Ni Luh Sekar (Jero Kenanga). Mereka sebagai teman
bermain sejak kecil, kemudian setelah dewasa saling menyatakan perasaannya.
Meskipun pada akhirnya Luh Kenten harus merelakan Luh Sekar menikah dengan
Ida Bagus Ngurah Pidada, lelaki Brahmana yang menjadi tujuan hidup Luh Sekar
agar derajat dirinnya bisa terangkat menjadi seorang bangsawan. Persoalan gender
ini dikaji dengan menggunakan kritik feminis lesbian (Djajanegara, 2003).
Novel ini menceritakan tentang tokoh perempuan yang dikarang oleh penulis
perempuan yang melibatkan persoalan gender dan patriarkhi. Oleh karena itu, novel
ini dapat dikaji dengan kritik sastra feminis ginokritik (Showalter, 1981). Oka
110