Page 116 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 116
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Akal,
dalam bahasa Arab, dikiaskan sebagai gua yang terletak di atas bukit yang
tinggi dan sukar dicapai. Kemuliaan akal dinyatakan dalam Hadis, `Awwal
ma khalaqa`lLahu’l- `aql. Adapun tanda orang yang menggunakan akal dan
pikiran yang baik ialah: (1) Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat,
menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan
bertobat; (2) Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih
rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih
tinggi; (3) Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang
baik dan perbuatan yang terpuji; (4) Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan
jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya; (5)
Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-
Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur; (6) Mengatakan hanya apa yang
benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif
menyampaikan sesuatu; (7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah
swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar
dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq,
Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.
Dalam bab ini Bukhari al-Jauhari mengutip kisah raja Nusyirwan dari Bani Sassan,
yang ketika ditanya seorang hakim tentang kedudukan akal, mengatakan
bahwa akal budi merupakan perhiasan kerajaan dan tanda kesempurnaan raja-
raja Persia. Orang berakal budi dan adil diumpamakan sebagai pohon yang
elok dan lebat buahnya. Buah-buahnya bukan saja enak dan berguna, tetapi
menimbulkan keinginan orang untuk mencintainya. Raja yang dhalim dan tidak
berakal budi adalah sebaliknya, bagaikan pohon yang buruk dan tidak ada
buah, karena itu dijauhi dan tidak disukai orang.
Ada juga kutipan pendapat Imam al-Ghazali, yang menyatakan bahwa akal
dalam tubuh manusia itu seperti raja dalam sebuah negeri. Sebuah negeri akan
baik jika raja yang memegang tampuk pemerintahan menjalankan tugasnya
sebagai pemimpin yang adil dan arif, yaitu menggunakan akal budi dengan
sebaik-baiknya. Seorang pemimpin harus memenuhi syarat: (1) Hifz, yaitu
memiliki ingatan yang baik; (2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar
terhadap berbagai perkara; (3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya; (4)
Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh
golongan masyarakat; (5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.
Kemudian juga dikutip pandangan seorang ulama dalam buku Sifat al-`Aql wa
`l-`aql. Negeri adalah seperti manusia: raja adalah akal pikiran sebuah negeri,
menteri-menteri ialah keseluruhan pertimbangan yang dibuat berdasarkan
pikiran dan hati nurani (musyawarah) ; pesuruhnya ialah lidah; suratnya ialah
kata-katanya yang tidak sembarangan dan tidak menimbulkan fitnah. Seorang
raja yang baik dikehendaki sehat baik rohani maupun jasmaninya.
102