Page 232 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 232

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    kesadaran   masyarakat. Penyebaran  Islam ini berjalan dengan wajar,  cepat,
               Penyebaran  Islam
              ini berjalan dengan   dan tanpa perlawanan karena  didukung oleh semangat toleransi  para sufi
               wajar,  cepat, dan   dalam berhadapan  tradisi serta  ide dan simbol yang lazim dalam masyarakat.
               tanpa perlawanan     Dalam penghadapan yang penuh pengertian ini—menurut Braginsky, seorang
             karena  didukung oleh   ilmuwan Russia yang mendalami sejarah dan tradisi sastra klassik Melayu-
              semangat toleransi    Nusantara--  secara berangsur-angsur pandangan hidup masyarakat mengalami
                para sufi dalam
                                                                                           2
              berhadapan  tradisi   transformasi ke dalam semangat bernuansa ke-Islam-an . Pandangan yang
              serta  ide dan simbol   tidak jauh berbeda telah juga disampaikan oleh  A. H. Johns. Dalam sebuah
               yang lazim dalam     artikelnya,  ilmuwan,  yang mendalami  sastra  Islam  klassik  Melayu  dan sastra
             masyarakat. Para sufi   Indonesia modern ini,  mengatakan bahwa para sufi juga menguasai ilmu magis
              juga menguasai ilmu   dan memiliki kekuatan yang menyembuhkan, siap memelihara kontinuitas
              magis dan memiliki
                kekuatan yang       dengan masa lampau, dan menggunakan istilah dan unsur kebudayaan pra-
                                                             3
             menyembuhkan, siap     Islam dalam konteks Islam.
            memelihara kontinuitas
             dengan masa lampau,    Hal ini tergambar dalam beberapa bentuk karya sastra. Mantra, yang berasal dari
              dan menggunakan
               istilah dan unsur    tradisi anasir kebudayaan sebelum kedatangan Islam, tetap dipakai dan tidak
             kebudayaan pra-Islam   dibuang ketika Islam telah menjadi anutan. Hanya saja  mantra yang awalnya
             dalam konteks Islam.   berasal dari tradisi Hindu-Budha  disesuaikan dengan keharusan yang berlaku
                                    dalam ajaran Islam. Komunikasi dalam mantra yang semula ditujukan kepada
                                    jin sebagai pesuruh,  diganti dengan permohonan yang ditujukan kepada
                                    Allah s.w.t., . Hal yang sama juga tampak pada bentuk sastra Minangkabau
                                               4
                                    lainnya, seperti pantun,  tambo atau undang-undang Minangkabau, dan
                                    kaba.  Azyumardi Azra  mengatakan bahwa tambo adalah hasil kerja para sufi
                                    tarekat. Dalam keseluruhan penafsiran mereka tentang Islam tampak jelas  latar
                                    belakang ke-Minangkabau-an yang banyak dipengaruhi  sinkretisme Hindu-
                                    Buda dan tradisi setempat . Dalam sebuah tulisannya Zuriati juga mengatakan
                                                             5
                                    bahwa tambo atau undang-undang Minangkabau sangat dijiwai oleh tasawuf
                                                                                 6
                                    dan-- tentu saja-- ditulis oleh seorang ulama sufi .
           Tambo. tambo atau undang-
           undang Minangkabau, adalah
           hasil kerja para sufi tarekat.  Bentuk-bentuk sastra yang ‘diislamkan” atau diberi nafas Islam itu kemudian
           Sumber: Museum Negeri Padang.
                                    diperkaya oleh syair dan hikayat, yang dengan jelas merujuk pada sastra Islam
                                    klassik. Sebagaimana yang terdapat dalam bentuk manuskrip (naskah) bertuliskan
                                    aksara Arab-Melayu (Jawi), syair yang dikarang oleh para ulama Minangkabau,
                                    terutama ulama sufi,  terdapat dalam jumlah yang banyak. Berbeda dengan
                                    syair, jumlah hikayat ternyata tidak begitu banyak. Namun, sebagaimana halnya
                                    dengan  kaba dan pantun, hal yang menarik ialah  beberapa syair dan hikayat
                                    dilagukan dalam  pertunjukan lisan. Dengan begini  dakwah yang disampaikan
                                    dapat sampai dengan  cepat kepada masyarakat.  Syair Salawat,  umpamanya,
                                    dibacakan pada pertunjukan salawat dulang; sedangkan Syair Ratap Fatimah
                                    dilagukan pada pertunjukan  ratok  ‘ratap’; dan  Hikayat Nur Muhammad
                                    dibacakan pada pertunjukan baikayaik. Semua bentuk karya sastra itu-- dari
                                    mantra hingga hikayat-- adalah kekayaan yang memantulkan pula  keragaman
                                    sastra Islam Minangkabau.








                    218
   227   228   229   230   231   232   233   234   235   236   237