Page 266 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 266
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Bermula, hati pun empat perkara. Pertama, hati; kedua, rasa; ketiga,
perisa; kaempat, cinta …. Itulah yang dinamai akan biaperi adanya, adalah
ia bersusun bagi hatinya rasa dan perisa, cinta kaempatnya. Artinya,
bersusun ia bagi syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat adanya.
Adapun, pandang hati terus ke tujuh petala langit dan tujuh petala bumi.
Sebab itulah nan lebih pada orang ahli akal pada isi alam atau pada
negeri. 100
Tujuh petala langit dan tujuh petala bumi menyiratkan martabat Tuhan yang
Tujuh. Martabat Tujuh (tujuh peringkat Wujud) itu, yaitu ahadiyat, wahdiyat,
wahadiyat, alam arwah, alam misal (alam ide-ide), alam ajsam (alam benda-
benda), dan alam insan (kamil). Tiga martabat yang pertama merupakan Wujud
dunia di dalam kesadaran Illahi yang mendahului penciptaan itu sendiri. Tiga
martabat berikutnya adalah alam-alam ciptaan yang sudah dijadikan. Martabat
yang terakhir merupakan martabat yang paling rendah dan sekaligus yang paling
tinggi di antara martabat yang berwujud aktual, karena mengandung segala
manifestasi Absolut. Insan kamil adalah intipati rohani, dengan melaluinya
makhluk kembali kepada Khaliknya (Braginsky dalam Zuriati, 2007: 133).
101
Tahap akhir dari perjalanan sufi yang berkenaan dengan hati dan martabat tujuh
di atas juga dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Pasal pada menyatakan bermula pohonnya ‘akal itu sekaliannya empat
perkara. Bermula, sebab empat perkara pohon ‘akal itu, karena empat
pula baginya, yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat adanya. Dan
empat pula [ya]ng lain daripada itu. Suatu, bijak; kedua, naqal; ketiga,
tawakal; kaempat, ber’akal. Dan disimpankan ia ‘akal yang empat bagi
itu kepada tiga bagi, yaitu suatu, wajib; kedua, jaiz; ketiga, mustahil.
Bermula, yang tiga itu disimpankan ia kepada perca idayat itu yang lima.
Artinya, pendengaran, pelihatnya, {pembahunnya}, p r y p c y n t. Serta
diperhubungkan perca idayat lima itu kepada dalil Burhan, artinya, kepada
kata Allah dan Rasulullah dan kepada sekalian makhluk Allah Ta’ala.
Kemudian, mengambil ‘ibarat telah mereka itu dan apabila mengambil
‘ibarat mereka itu daripada sekalian perkara itu dan kekallah hidayah
Allah Ta’ala. Artinya, cahaya dijadikan Allah Ta’ala pada hati mereka itu
serta menauhidkan ia cahaya itu akan Tuhannya dan berpegang ia akan
tali yang teguh. Artinya, kepada sifat Tuhan yang tuju[h] perkara yaitu
sifat ma’ani adanya.
“Di dalam pohon hati sanubari yaitu Nur mengandung agama yang
sebenarnya. Dikata akan dia rukun Islam tauhid makrifat. Perhimpunan
Nur Muhammad huruf alif adanya. Maka, nan tarjali pada hati sanubari
itulah yang dinamai akan insan kamil”. 102
252