Page 263 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 263
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Dalam perjalanan menuju adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah;
syarak mengata, adat memakai itu dapat dilihat tiga hal. Pertama, aturan-
aturan adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum Islam (syarak)
dihilangkan dan diganti dengan hukum Islam (syarak). Kedua, aturan-aturan
adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (syarak) tetap dipakai, tetapi
disempurnakan dengan hukum Islam (syarak). Ketiga, aturan-aturan adat yang
belum dapat digantikan oleh hukum Islam (syarak) dikuatkan dengan beberapa
92
alasan.
Adat kebiasaan atau perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
hukum Islam (syarak) yang ditoleransi pada tahap yang digambarkan oleh
adat bersendi syarak, syarak bersendi adat, seperti judi, sabung ayam, minum
tuak, dan bermacam ragam permainan (kesenian), mulai dilarang, baik secara
halus maupun secara terang-terangan. Hal itu dapat dilihat, misalnya, pada
pasal yang menyatakan nama-nama undang-undang takluk. Dalam salah satu
uraian dinyatakan, bahwa apabila takluk undang-undang itu kepada orang
bergelanggang ramai, sabung, perkara ragam main-mainan, berhuru-huru
dalam negeri, gendang serunai, rebab kecapi, sadam bangsi cina, sorak-sorai,
dan dendang nyanyian, pakaian adat dunia namanya (ML 428: 33). Semua
perbuatan yang disebutkan dalam pasal di atas merupakan adat kebiasaan yang
bertentangan dengan hukum Islam (syarak). Oleh karena itu, semua bentuk adat
kebiasaan tersebut disebut dengan “adat segala berhala”, yang dengan halus
disebut sebagai “adat pakaian dunia” pada ML 428. Sementara, pada W 205,
menyabung, berjudi, dan segala rupa permainan itu dengan tegas dinyatakan
sebagai “adat yang tiada baik” (hlm. 89).
93
Sehubungan dengan empat kelompok adat, yakni “adat yang sebenar adat”,
“adat yang teradat”, “adat yang diadatkan”, dan adat istiadat, teks UUM
menerangkan, bahwa adat yang sebenar adat adalah “adat yang diterima dari
Nabi Muhammad s.a.w. sepanjang yang tersebut di dalam kitab Allah, artinya,
adat yang sepanjang syarak. Adat yang diadatkan adalah “adat yang diterima
dari Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Sabatang, berupa cupak yang
dua (asli dan buatan), kata yang empat (kata mendaki, menurun, melereng,
dan mendatar), undang-undang yang empat (undang-undang luhak, undang-
undang nagari, undang-undang orang dalam nagari, dan undang-undang dua
puluh), dan nagari yang empat” (teratak, dusun, koto, dan nagari). Adat yang
diadatkan ini merupakan pegang pakai di dalam negeri karena dapat oleh akal
dengan mupakat serta hakim, lagi berbetulan pahamnya dengan syarak, maka
boleh dipakai. Adat yang teradat adalah “adat yang terpakai di dalam yang
seluhak atau dalam yang selaras, yang dinamai dengan cupak yang sepanjang
betung, adat yang sepanjang jalan”. Adat yang teradat ini merupakan adat
yang berlaku dan dipakai dalam suatu daerah tertentu, yang berbeda dengan
daerah lainnya di Minangkabau. Adat yang teradat ini juga merupakan “adat
yang sudah dipakai, tidak menyalahi hadis, dalil, kias, dan ijmak. Sementara,
adat istiadat adalah “adat jahiliyah yang terlarang di dalam yang sebenar
249