Page 379 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 379
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
bagian barat Banyuwangi seperti Glenmore. Dan, sebagai bagian dari wilayah
Ootshoek (pojok timur), Banyuwangi yang kosong penduduk menjadi area
perkebunan utama dari seluruh proyek perkebunan Belanda di pegunungan
selatan Jawa Timur yang memanjang dari Madiun, Malang, Lumajang, Jember,
dan Banyuwangi.
Implikasi yang lazim dari pembukaan perkebunan itu adalah muncul dan
derasnya arus migrasi penduduk terutama dari Pulau Jawa bagian tengah
yang memang sudah padat. Tak lama setelah perkebunan-perkebunan itu
dibuka dan beroperasi, penduduk dari berbagai daerah seperti Ponorogo,
Madiun, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Bojonegoro, dan Pulau Madura
berdatangan ke Banyuwangi baik sebagai tenaga kerja di perkebunan maupun
untuk membuka lahan-lahan pertanian baru di tempat-tempat yang kosong
seperti di Banyuwangi Selatan. Dengan demikian, Banyuwangi yang jauh
sebelum itu memang telah didatangi para migran dari Bugis, Mandar, Cina,
Arab yang sekarang mempunyai perkampungan sendiri di pesisir kota, menjadi
semakin terpadati oleh penduduk dari Jawa dan Madura, yang semua itu tentu
mengubah tatanan (formasi sosial) yang ada baik sosial, politik, ekonomi,
maupun kebudayaan dan menantang terbentuknya formasi sosial baru. Seperti
yang nampak sekarang – mungkin sudah sejak lama – tidak ada satupun desa
di Banyuwangi penduduknya tidak padat dan multietnis, bahkan sebagian
besar multiagama. Kemiren (kecamatan Glagah), misalnya, salah satu desa
yang diproyeksikan sebagai desa konservasi komunitas dan adat Using, telah
cukup lama dihuni oleh penduduk beragam etnis. Semi sendiri, yang dipercaya
sebagai penari perempuan pertama, menurut penuturan keturunannya, adalah
keturunan migran dari Jawa; ibu dan ayah Semi berasal dari Ponorogo dan
Semarang.
Dalam konteks perubahan dan tantangan formasi sosial baru seperti itulah
Semi lahir sebagai penari gandrung, dan dibawah asuhan ibunya, mak Midah
mengembangkan gandrung yang berinteraksi dengan masyarakat semakin
majemuk. Perubahan-perubahan tari, lagu, musik, dan struktur pertunjukan
yang diayunkan Semi barangkali mengindikasikan bahwa ia sadar sedang
menghadapi dunia baru dengan seluruh tuntutan dan tantangannya yang juga
baru. Tari tunggal sebagaimana yang ada dalam gandrung lanang, di tangan
Semi, berubah menjadi tari berpasangan laki-laki dan perempuan, bisa jadi hal
itu terinspirasi oleh, atau mengadopsi tari yang sama dalam tayub dan gambyong
di Jawa sudah berkembang sebelumnya (catatan: tari yang ada dan berkembang
di Banyuwangi sebelum abad ke-20, selain gadrung lanang yang tunggal,
hanyalah tari ritual seperti seblang dan sang hyang). Musik paduan antara Jawa
dan Bali dengan alat-alat seperti kluncing, biola, kenong, gong, dan kenong
adalah hal baru yang sebelumnya, kecuali kendang, tidak ada dalam gandrung
lanang. Begitupun soal lagu-lagu, di samping tetap membawakan lagu-lagu
seblang, Semi juga mengadopsi lagu-lagu dari Jawa dan Bali seperti surung
365