Page 376 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 376
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Bagian kedua pertunjukan gandrung adalah paju, berlangsung sekitar 5
sampai 6 jam, untuk memberi kesempatan kepada yang hadir untuk menjadi
pemaju, menari berpasangan dengan penari gandrung sekaligus menunjukkan
kebolehannya menari; kesempatan memaju ditandai dengan terlebih dulu
menerima sampur. Di setiap pertunjukan gandrung terdapat deretan meja
mengitari arena tari untuk para pemaju yang sebelumnya disediakan untuk para
undangan hajatan. Jumlah meja selalu tidak tetap, berkisar antara 6 sampai
10 meja yang ditata berjajar memanjang atau terpisah. Hampir pasti bahwa di
atas meja-meja itu dipenuhi oleh puluhan botol bir yang dilengkapi anggur, soft
drink, dan minuman lain sebagai pencampur.
Dalam bagian paju ini terdapat aktivitas bernama ngrepen dimana para penari
gandrung duduk di meja-meja pemaju bergiliran sesuai nomor urut yang diatur
tukang gedhok, pengatur lalu-lintas paju sekaligus pengedar sampur. Ia adalah
seorang laki-laki yang memiliki wibawa, bisa menari, dan mengetahui benar
siapa-siapa yang diundang dalam hajatan serta memahami benar aturan-
aturan pertunjukan gandrung. Saat ngrepen terlihat penari duduk berhimpitan
dengan pemaju sambil terkadang menggerak-gerakkan bagian atas (tangan,
bahu, dan kepala) atau berdiri dengan gerak tari bagian atas (tanpa gerak
pinggul dan kaki). Dalam setiap pertunjukan gandrung, jumlah pemaju selalu
tidak tetap, berkisar antara 70 sampai 100 orang. Jumlah ini sangat ditentukan
oleh popularitas sang penari yang manggung; semakin populer akan semakin
banyak pemajunya. Lagu-lagu yang relatif tetap dilantunkan dalam bagian paju
ini adalah Cengkir Gading, Condro Dewi, Celeng Mogok, Ukir Kawin, Erang-
erang, Sukma Ilang, es Lilin, Cap Go Mek, Kusir-kusir, dan Lia-liu, sederet lagu
Osing yang dilantunkan dengan cengkok yang khas.. Namun demikian, seorang
pemaju bisa saja meminta lagu lain termasuk lagu-lagu dangdut seklipun, meski
yang terakhir itu amat jarang dilakukan.
Bagian terakhir pertunjukan gandrung adalah seblang-seblang yang berlangsung
sekitar 85 sampai 120 menit; bagian ini juga disebut seblang subuh, mungkin
karena penyajiannya saat menjelang subuh atau bahkan acapkali melewati
azan subuh. Dalam bagian seblang subuh ini yang tersaji hanya tari-nyanyi para
penari gandrung dengan iringan musik yang lembut seakan membangkitkan
kesadaran. Lagu-lagu yang dilantunkan dalam bagian ini biasanya sebanyak
2 sampai 5 buah lagu, yaitu Seblang Lokento, Sekar Jenang, Kembang Pepe,
Sondreng-sondreng, dan Kembang Pirma, tetapi karena waktu lebih banyak
terserap untuk paju, maka lagu Sondreng-sondreng, Kembang Pepe, dan
Kembang Pirma sekarang agak jarang dilantunkan. Dalam pengertian setempat,
kata “seblang” berarti sadarlah, kembali pada sedia kala. Bagian ini, seperti
yang tersurat dalam lagu-lagu yang dinyanyikan, dimaksudkan untuk: memohon
maaf kepada orang yang mengundang pertunjukan; sebagai ungkapan rasa
terima kasih kepada para tamu atas segala penghargaan yang diterimanya; dan
sebagai ajakan untuk kembali kepada suasana kehidupan riil di luar pertunjukan.
362