Page 372 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 372
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
menjadi aktivitas pemerintah daerah Kalimantan Selatan, salah satunya dengan
Revitalisasi itu mengagendakan pertunjukan rutin, festival-festival, dan event-event lainnya.
mengambil bentuk
pertunjukan rutin Di Hulu Sungai Selatan, revitalisasi itu mengambil bentuk pertunjukan rutin
tahunan, tiga kali tahunan, tiga kali dalam setahun, yaitu pada setiap 17 Mei bertepatan dengan
dalam setahun, yaitu peringatan ALRI Divisi IV, setiap 2 Desember di HUT daerah kabupaten itu, dan
pada setiap 17 Mei pada HUT kemerdekaan, 17 Agustus.
bertepatan dengan
peringatan ALRI Divisi
IV, setiap 2 Desember di Tentu banyak sebab mengapa mamanda semakin memudar, pelan-pelan
HUT daerah kabupaten menghilang dari peredaran. Pengaruh kesenian-kesenian pop dan modern yang
itu, dan pada HUT meluas terutama karena dukungan media massa, seperti yang sering dilekatkan
kemerdekaan, 17 pada memudarnya kesenin-kesenian tradisi lain dan di tempat lain, bisa jadi
Agustus.
menjadi salah satu sebab memudarnya mamanda. Tetapi, bukankah mamanda,
sebagaimana yang dipraktikkan mamanda Tubau, sangat adaptif dan fleksibel
untuk berubah sesuai dengan perkembangan zaman? Mengapa kemampuan
adaptasi dan fleksibilitas itu tidak berkembang, seperti yang dilakukan, dalam
batas-batas tertentu, oleh ludruk, srimulat, lenong, wayang kulit, dan lain-
lain? Bukankah mamanda itu sendiri sebagai keturunan bangsawan, jika benar
pernyataan Tan Sooi Beng di atas, merupakan commersial theatre?
Ninuk Kleden membaca bahwa agama Islam mempunyai andil dalam
memudarnya teater rakyat di Kalimantan Selatan ini. Islam yang berkembang
pesat terutama sepulang sejumlah orang dari belajar di Mekkah abad ke 18
dan 19, beberapa di antaranya, seperti syekh Arsyad Al-Banjari, menulis banyak
kitab/buku, meningkatkan persentuhannya dengan mamanda lebih intensif.
Pada tahun 1914, guru Jamaluddin dan beberapa yang ulama lain mendirikan
madrasah Darussalam (Assalam) yang berorientasi ke Arab di Martapura. Syekh
Hamid Al-Qari bersama beberapa orang saudaranya, yang pada tahun 1926
diminta pengurus Assalam, untuk memimpin dan mengasuh di madrasah
tersebut, berhasil mengembangkan lembaga pendidikan Islam itu tidak hanya
khusus bagi orang Arab, melainkan terbuka bagi orang-orang Banjar. Sejak
saat itu, aktivitas belajar agama baik melalui lembaga pendidikan (madrasah
dan pesantren) maupun pengajian-pengajian di majlis taklim meningkat sangat
signifikan. Ninuk menulis “boleh dikatakan setiap malam, tak terkecuali sabtu
dan minggu, ada pengajian. Padahal, menurut kebiasaan daerah itu, apabila
ada pengajian, maka di desa-desa sekitarnya tak boleh ada keramaian.” Fungi
mamanda yang menjadi tempat dimana orang-orang Banjar berkumpul, kata
Ninuk, berpindah ke pengajian majlis taklim
Mungkin masalahnya bukanlah soal waktu yang tersita, dan bukan pula aktivitas
belajar agama di madrasah/pesantren maupun di majlis taklim, keberhasilan
sebagian ulama Banjar mensosialisasi “doktrin” berkaitan dengan mamanda
juga merupakan soal yang lain. Entah sejak kapan dan bagaimana prosesnya,
di kalangan muslim santri di Kalimantan Selatan sangat populer “doktrin”
bahwa menonton mamanda, berarti ibadah shalatnya selama 40 hari tidak
akan diterima oleh Allah. Tetapi bagaimana dengan guru Ijai di Martapura yang,
358