Page 369 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 369

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Penang, melalui Gujarat, pada tahun 1880, yang tak lama setelah itu, pada
           tahun  1889  bangsawan  bermunculan  di  berbagai  tempat  di  Semenanjung,
           termasuk  di  Malaka.  Di  Malaysia  sendiri,  kesenian  ini  mempunyai  banyak
           nama: bangsawan, teater parsi, wayang parsi, komedi melayu, bahkan ada
           yang menyebut tiruan wayang parsi. Teater yang oleh Tan Sooi Beng dikategori
           sebagai urban commercial theatre ini belakangan, pada dekade 80-an, dengan
           kebijakan politiknya, diidentifikasi (diklaim) sebagai kesenian Melayu Malaysia
           (melayunisasi), sebuah kebijakan (cultural policy) yang dikritik keras oleh
           sejumlah budayawan dan akademisi Malaysia termasuk Tan Sooi Beng.


           Rombongan indra bangsawan yang dipimpin Encik Ibrahim dan isterinya, Cik
           Hawa itu sebenarnya menetap hanya sekitar 10 bulan di Banjar, namun berhasil
           menularkan keseniannya di kalangan masyarakat yang telah memiliki banyak
           kesenian itu. Dikabarkan bahwa sejak masa kerajaan Negara Dipa, masyarakat
           daerah itu telah mengenal dan mengembangkan beberapa jenis kesenian tradisi
           seperti wayang, topeng, jogged. Katika Islam mulai berkembang di sana pada
           tahun 1550 dan menguat dengan berdirinya kesultanan Banjar yang mendapat
           bantuan dari kesultanan Demak, kesenian-kesenian tradisi tersebut semakin
           dikenal luas. Para sultan Banjar memberikan kebebasan kepada rakyat untuk
           melakukan kegiatan seni dan budaya, tetapi pada saat yang sama mereka juga
           memberikan peluang sangat besar pada kesenian-kesenian yang bercorak
           Islam, semacam hadrah, rudat, zapin, dan sebangsanya untuk tumbuh dan
           berkembang. Akibatnya, gesekan dan kontestasi pun tak dapat dihindari.

           Masa pemerintahan Batu Putih atau Sultan Rahmatullah sekitar tahun 1620,
           banyak orang mulai mempelajari seni tari dan suara yang diajarkan para ahli
           dari Jawa dan Semenanjung Melayu. Pada tahun 1701, sultan banjar pernah
           mengutus pangeran Singa Marta untuk membeli kuda Bima. Selain membeli
           kuda, ternyata sang pangeran juga menikah dengan seorang putri Bima yang
           terkenal sebagai ahli seni. Mereka kembali ke Banjar dengan membawa sejumlah
           kesenian tradisi asal Bima termasuk mengkreasi tari baru yang dikenal sebagai
           tari Jambangan Kaca dan Pagar Mayang. Pada masa pemerintahan Pangeran
           Hidayat (1845-1859), yang juga dikenal sebagai seniman, kesenian di Banjar
           berkembang sangat pesat.

           Rupanya, minat seni orang Banjar sangat kuat, dan pengaruh indra bangsawan
           pun cepat meluas hingga pada awal abad ke-20, lahir kesenian baru, badamuluk
           (sebutan singkat dari Ba Abdoel Moeloek) yang dirintis dan diperkenalkan oleh
           Anggah Datu Irang (banyak yang menyebut saudara sepupu Raja Ali Haji, salah
           satu pujangga Penyengat, Kepulauan Riau yang sangat terkenal dengan karya-
           karya tulisnya). Dikenal badamuluk, karena kesenian ini melakonkan syair-syair
           Abdoel Moeloek yang populer dikalangan masyarakat Banjar – juga di kalangan
           masyarakat Melayu. Kesenian baru Badamuluk itupun lalu terkenal dan
           berkembang hingga ke pasar lama Margasari (Margasari Ilir), Periuk, Pabuang,
           Merapian, dan Hulu Sungai.





                                                                                                355
   364   365   366   367   368   369   370   371   372   373   374