Page 367 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 367
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
nasehat, kritik sosial, maupun percintaan. Karena itu, para pelantun dituntut
peka, memiliki kemampuan kritis, dan kreatif dalam menyikapi kenyataan.
Bahasa yang dipakai dalam seluruh proses pertunjukan togal, termasuk syair
dan pantun, adalah gabungan bahasa Indonesia, Melayu Ternate, dan sedikit
bahasa Makian. Dominasi kedua bahasa “asing” tersebut tampaknya agar togal
lebih bisa komunikatif karena di Makian telah cukup lama dihuni oleh warga
masyarakat dari berbagai etnis, di samping karena orang Makian sendiri telah
lama bergumul dengan etnis-etnis lain di luar Makian terutama sejak meletusnya
gunung Kie Besi lebih seratus tahun lalu. Dalam kenyataannya pertunjukan
togal memang dikerumuni oleh warga masyarakat dari berbagai kalangan etnis
maupun tingkat sosial dan segala usia, kecuali anak-anak.
Secara tradisi, pertunjukan togal diselenggarakan untuk meramaikan berbagai
hajatan warga (perkawinan, khitanan, tasyakuran, melunasi nadzar), pelantikan
pejabat setempat, dan seterusnya (yang tidak pernah terjadi adalah pertunjukan
togal dalam acara kematian, karena pertunjukan togal murni dimaksudkan
hanya untuk hiburan). Transaksi antara pemain toga; dengan pihak yang
mengundangnya tidak terlalu ekonomis (tidak ada tarif tertentu), para pemain
hanya biasa disediakan rokok, makan, makanan ringan, dan minuman terutama
kopi. Meskipun begitu, para pengundang umumnya akan rela memberikan Kesenian togal itu
imbalan kepada pemain yang jumlahnya sangat bervariasi. Hal itu, karena, sendiri yang selalu
selain pertunjukan togal belum komersial, para pemain togal hampir seluruhnya menyesuaikan diri
mempunyai basic ekonomi (pertanian) yang cukup. seperti menggunakan
twala ketika
bersentuhan laki-
Hubungan antara togal dengan berbagai kekuatan sosial politik maupun agama laki dan perempuan
nyaris tidak ada persoalan. Selain karena kesenian togal itu sendiri yang selalu dan menghentikan
menyesuaikan diri seperti menggunakan twala ketika bersentuhan laki-laki dan pertunjukan sebelum
perempuan dan menghentikan pertunjukan sebelum shalat subuh, mungkin shalat subuh,
karena pandangan dan sikap kaum muslim di Makian yang moderat, toleran,
dan akomodatif. Tawari (2013; 62) menuturkan bahwa seorang imam masjid
raya Makian, ustadz Munir Abdul Ghani sangat apresiatif terhadap togal;
sering menghadiri pertunjukan bahkan tidak canggung-canggung sesekali ikut
meronggeng. Demikian pula tokoh-tokoh Islam muda, yang sebagian berpofesi
pengajar di perguruan tinggi, sangat menggemari kesenian ini dan berpartipasi
sebagai penari. Para ulama di Ternate dan di Maluku Utara pada umumnya
berlatar belakang pesantren Al-Irsyad Palu, Sulawesi Tengah, sebuah pesantren
mengajarkan corak dan watak keislaman inklusif, paduan antara fiqh dan
sufistik. Sepanjang menyangkut hubungan tegang antara Islam dan kesenian,
peristiwa penghapusan tradisi legu sambil menangis meraung-raung mengiringi
pemakaman seperti dipaparkan diatas merupakan satu-satunya kasus yang
terjadi di Maluku Utara.
353