Page 365 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 365

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Tradisi legu-legu untuk mengiringi pemakaman dengan tangis meraung tersebut
           ternyata menimbulkan keprihatinan para ulama dan kesultanan Ternate.
           Para ulama khususnya di Ternate yang mayoritas lulusan pesantren Al-Irsyad
           Palu, Sulawesi Tengah itu khawatir bahwa tangis berlebihan dan ungkapan-
           ungkapan “melawan takdir” diatas akan mengantarkan pada perbuatan syirik,
           sesuatu yang sangat dilarang oleh Islam. Dengan cara-cara yang lebih kultural,
           para informan menyebut persuatif, para ulama menyentuh legu pengiring
           pemakaman itu dan berusaha menginovasi dan mengubahnya menjadi Islami.
           Akan tetapi, mungkin karena terlalu sulit (tradisi itu telah menjadi “darah-daging”
           orang Ternate) dan khawatir menimbulkan kegoncangan sosial-kultural, para
           ulama atas dukungan kekuasaan kesultanan mengalihkan tradisi legu dan yang
           terkait dengannya pada kontrol sang sultan. Jadilah, sejak saat itu, legu untuk
           mengiringi pemakaman dengan tangis meraung terhapus dalam kebudayaan
           Ternate, dan legu, sebagaimana kita saksikan sekarang, hanya diperuntukan
           bagi ritual-ritual kesultanan. Meski, tangis meraung mengiringi pemakaman,
           dalam batas-batas tertentu, seperti yang diterjadi di Halmahera, masih dapat
           disaksikan tanpa legu.

           Serupa dengan legu kedato, togal yang hanya ada di wilayah Makian juga
           merupakan  seni pertunjukan  berbasis  tari-nyanyi  dengan diiringi musik khas
           Makian dengan alat-alat: tifa, gambus, dan manika (harmonika: yang dimaksud
           sebenarnya adalah acordion) yang dalam pekembangan selanjutnya, manika
           itu, digantikan dengan fiul (biola).  Lagu-lagu yang dibawakan juga diangkat
           dari syair-syair  kuno seperti  dalil  tifa,  dalil  moro, dan  dola bololo. Bedanya
           yang menonjol jika legu kedato sakral dan hanya untuk keperluan ritual-ritual
           tertentu, maka togal lebih merupakan kesenian profan, untuk keperluan hiburan
           berbagai hajatan warga masyarakat kebanyakan. Disebut togal – juga dikenal
           dengan manika – karena terdapatnya dua alat (gambus dan acordion) yang cara
           memainkannya dengan menekan-menarik atau memetik; togal sendiri dalam
           bahasa Makian Dalam berarti tarik, menarik, menekan.


           Kesenian ini tumbuh dan berkembang di Makian telah sangat lama. Kedua alat
           musik (gambus dan acordion) itu mengartikan bahwa togal sangat dipengaruhi
           oleh kebudayaan luar (Arab dan Portugis) yang keduanya telah masuk ke
           Makian khususnya dan Maluku Utara pada umumnya beberapa abad yang
           lampau. Masyarakat Makian memang tidak tertarik mendiskusikan kapan
           togal lahir dan berkembang di masa awal, persis seperti mereka tidak berminat
           memasalahkan soal Arab yang Islam dan Portugis yang non-Islam. Akan tetapi
           beberapa penulis tentang togal dan Makian yang teramat sedikit itu, antara
           lain Rudi S. Tawari (2013) tampaknya (terkesan) lebih tertarik untuk mengaitkan
           togal dengan gambus yang Arab dan identik dengan Islam. Dengan tetap
           dipakainya gambus dan digantikannya acordion dengan biola, Tawari mencoba
           menguatkan pandangannya bahwa togal lebih terkait dengan Arab, meskipun
           ia tidak menoleh bahwa biola sendiri sebagai pengganti acordion adalah alat
           musik yang bukan dari Arab.





                                                                                                351
   360   361   362   363   364   365   366   367   368   369   370