Page 360 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 360

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    Pertunjukan teater Mendu di Natuna mencapai puncaknya pada akhir tahun
                 Teater mendu       1940-an hingga pertengahan dekade 60-an, saat berkesenian terbuka bebas,
             diapresiasi oleh seluruh
               warga masyarakat     saat Natuna belum terjamah oleh kekuatan-kekuatan eksternal, saat bumi
              nyaris tanpa kecuali.   Natuna belum terinjak oleh para migran, dan saat perkebunan kelapa milik
              Suara beduk bertalu-  warga masih terhampar subur dan perdagangannya ke Singapura terbuka
              talu dan biola yang   lebar. Sembari mengenang masa lalu, mantan primadona Mendu era 50-60an,
              meliuk menghipnotis   Syafii Abdurahman (belakangan dikenal Pii Payung) dari Bukit Laksamana, Ranai
              seluruh warga untuk
                berduyun-duyun      menceritakan betapa dan bagaimana teater mendu diapresiasi oleh seluruh
              menyaksikan mendu,    warga masyarakat nyaris tanpa kecuali. Suara beduk bertalu-talu dan biola
              meski harus berjalan   yang meliuk menghipnotis seluruh warga untuk berduyun-duyun menyaksikan
              meniti jalan setapak   mendu, meski harus berjalan meniti jalan setapak yang tak rata bahkan sebagian
              yang tak rata bahkan   di lereng bukit. Syafii sendiri yang selalu berperan sebagai Dewa Mendu merasa
               sebagian di lereng
                    bukit.          tersanjung, tidak hanya ketika di panggung tetapi juga dalam kehidupan sehari-
                                    hari; wajahnya pun berbinar, kala mengenang bagaimana ia dikagumi oleh
                                    banyak perempuan muda di Bunguran saat itu.


                                    Catatan (dokumen) mengenai berapa jumlah grup mendu di Natuna-Anambas
                                    saat itu tak ditemukan sepanjang saya melakukan penelitian teater ini di
                                    Natuna tahun-tahun 90-an. Beberapa saksi (pelaku) yang tersisa seperti Syafii,
                                    Bakar (keduanya dari Ranai), dan Ajar (Sedanau) menuturkan bahwa grup
                                    mendu kala itu dapat dijumpai di hampir setiap desa di Natuna-Anambas, dan
                                    frekuensi pentas pun sulit dihitung, karena kebanyakan hajatan-hajatan seperti
                                    perkawinan orang-orang kaya selalu diramaikan dengan pertunjukan mendu.
                                    Sebagai  primadona, Syafii sering diundang bermain mendu oleh sejumlah grup,
                                    meski grup itu sendiri memiliki pemeran dewa mendu. Apresiasi masyarakat
                                    pun sangat tinggi dan semarak seperti yang terlihat dalam, selain hasrat
                                    menanggap, menyaksikan pertunjukan sepanjang malam, bahkan ketika teater
                                    itu harus mempertunjukkan 3, 7, atau 40 malam tanpa jeda. Bahkan “orang
                                    hunian” yang secara mitologis menjadi “warga” Natuna, dipercaya selalu hadir
                                    menyaksikan pertunjukan mendu.


                                    Mendu memang telah menjadi bagian penting dari orang Natuna, dan mereka
                                    pun telah mengidentifikasi mendu ke dalam dirinya. Berulang kali Syafii
                                    menegaskan betapa bubungan tempat pentas mendu yang disangga empat
                                    tiang sebagai simbolisasi dari bumi Bunguran yang setiap sudutnya dijaga oleh
                                    seorang syekh dengan titik tengah puncak gunung Ranai sebagai singgasana
                                    syekh Husein. Semua corak kehidupan akan berlangsung dinamik di dalamnya,
                 Orang Natuna       dan semua watak/karakter akan teraktualisasikan dengan konsekuensi paradoks
                percaya bahwa       dan sinergisnya untuk menciptakan akhir yang damai, seperti yang tampak jelas
              keseimbangan antar
             kekuatan mikrokosmos   dalam pertunjukan mendu. Orang Natuna percaya bahwa keseimbangan antar
               dan makrokosmos      kekuatan mikrokosmos dan makrokosmos haruslah diciptakan agar kehidupan
              haruslah diciptakan   sosial dapat terjaga dan terselamatkan.
             agar kehidupan sosial
               dapat terjaga dan    Pertunjukan mendu memang penuh dengan mistis. Selain tentang Dewa Mendu
                terselamatkan.
                                    dan Angkaran Dewa yang diyakini sebagai mahluk alam lain yang turun ke bumi





                    346
   355   356   357   358   359   360   361   362   363   364   365