Page 361 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 361
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
via pohon pulae sebagai pemberi jalan keluar dari keruwetan hubungan antar
manusia, pertunjukan mendu juga terbalut oleh ritual (sesaji) pembuka dengan
pembakaran kemenyan, mantra-mantra (rupa dan suara), dan sederet simbol
keterkaitan (integrasi) manusia dengan alam dan kekuatan-kekuatan yang tak
tertangkap kasat-mata. Sebuah pertunjukan mendu di Taman Ismail Marzuki
Jakarta 1982 nyaris gagal, hanya karena panitia tidak menyediakan pohon pulae.
Para pemain mendu dari Natuna saat itu bersikukuh, tanpa pohon pulae dan
berarti tanpa kehadiran Dewa Mendu dan Angkaran Dewa, pertunjukan mendu
tidak mungkin terlaksana. Dan pertunjukan pun akhirnya terlaksana, setelah
panitia memperoleh sebatang pohon pulae dari Bogor, Jawa Barat. Peristiwa
lainnya adalah sebuah pertunjukan mendu di Tanjungpinang November 2013
lalu. Pertunjukan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Direktorat Kepercayaan) dalam rangka revitalisasi teater mendu
itu terguyur hujan lebat dan nyaris gagal. Ahmadiyah, sang khalifah/pemimpin
grup mendu yang tampil saat itu, usai pertunjukan, menyatakan bahwa kendala/
problem sebagai tamparan baginya karena tak terpenuhinya tertentu, termasuk
sebagian ritual, lantaran tidak tersedianya beberapa benda yang diperlukan oleh
panitia.
Natuna-Anambas memang merupakan hamparan pulau laut Cina Selatan, bagian
dari wilayah segantang lada propinsi Kepulauan Riau, yang secara geografis
terpencil jauh dari pusat-pusat pertumbuhan dan perkembangan modernisasi.
Meski Natuna cukup lama menjadi konsentrasi pertahanan laut dimana para
marinir membangun camp-camp dan bandar udara yang kokoh (biasa dilandasi
pesawat tempur F 16) tersedia, namun mereka tampaknya tidak terintegrasi
dan tidak berinteraksi intensif dengan masyarakat setempat. Masyarakat di Riau
mengenal bahwa di kepulauan itu sangat subur berbagai mitologi, pandangan-
pandangan mistis, dan mantra-mantra untuk berbagai keperluan. Kita masih
ingat bagaimana Ibrahim Sattah dan Sutardji Calzoum Bachri, keduanya dari
Anambas, melahirkan dan mempopulerkan puisi-puisi mantra yang kemudian
mewarnai puisi-puisi Indonesia.
Effendy (1996; 44-58) melukiskan bagaimana mitos-mitos atau pandangan-
pandangan mistis berbalut dengan kehidupan riil orang Melayu Natuna. Keminik,
kramat Binjai, orang hunian, di samping syekh Husein, adalah sebagian yang
terpenting dari simpul-simpul kekuatan gaib yang sangat diyakini kebanyakan
orang Natuna sebagai penjaga “keselamatan” Natuna. Keminik adalah mahluk
jelmaan dari “bawaan” lahir seorang bayi (di Jawa disebut: ari-ari) yang setia
menolong setiap saat ketika dibutuhkan. Mahluk jelmaan yang selalu disebut
“sahabat” ini bagi orang Melayu di Sedanau berujud ikan, semacam lumba-
lumba. Kramat Binjai adalah sebuah makam kuno, berbentuk batu datar
terletak di tengah muara sungai dan teluk di pojok barat daya pulau Bunguran,
dipercaya sebagai makam penghuni pertama Natuna, yang perkawinannya
dengan putri dari Johor menurunkan para datuk (disebut: wan) yang sampai
kini menjadi kaum ningrat di Natuna. Kramat Binjai selalu dikunjungi oleh
347