Page 356 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 356
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
dengan nama terbangan). Meski pun semua itu masih mengesankan sesuatu
yang aneh, bahwa shalawat badr, puji-pujian, dan alunan syair-syair berzanji
bagaikan tempelan yang tidak inheren dalam kesenian itu sendiri. Bahkan terlihat
kontradiktif ketika nyanyian-nyanyian itu disejajarkan dengan sesaji, mantra-
mantra, dan tata-gaul sebagian besar konco reyog masih memertahankan
kejawen yang mistis.
Bukan hanya itu, sebuah peristiwa menarik dan kontroversial (mengundang
pro-kontra) terjadi, dimana sebuah pesantren di Ponorogo menyelenggarakan
festival reyog besar-besaran sepanjang 6 hari berturut-turut (2 – 8 Maret 2002).
Festival yang terselenggara di Pesantren Arrisalah, Desa Gundik, Slahung,
Ponororogo (sekitar 14 km arah selatan kota Ponorogo) menarik perhatian
banyak pihak, bukan karena diikuti puluhan grup reyog, dan bukan pula
karena peristiwa itu (pertunjukan reyog di peantren) suatu kejadian baru karena
sebelumnya, pesantren Gontor dan Walisongo telah mementaskan reyog saat
hajatan wisuda, melainkan karena pertunjukan reyog, dalam festival itu, telah
berubah, disesuaikan dengan tradisi pesantren. Selain lagu-lagu shalawat badr,
barzanji, musik kasidah, dan hadrah sangat dominan melebihi musik dan lagu
reyog sendiri, kostum jathil pun berubah menjadi celana panjang melebihi lutut
(biasanya menggunakan celana kutungan yang tidak melebihi lutut) dan udeng
penutup kepala jathil diganti menjadi jilbab seperti layaknya santri perempuan.
Sejumlah tokoh Islam merespons hal itu sangat positif, tetapi sejumlah konco
reyog dan kalangan jathil sendiri melihat cukup aneh dan ribet. KH. Ma’shum,
pemimpin dan pengasuh pesantren itu menegaskan bahwa tujuan utama
festival itu adalah: “untuk melestarikan, mengembangkan, dan meningkatkan
mutu sekaligus mengembalikan arti pokok dari keberadaan seni reyog yang
berpangkal pada akar sejarahnya, yaitu dari Betara Katong yang paling awal
mengislamisasi daerah Ponorogo ini.”
Proses Islamisasi reyog dan pendukungnya berjalan sangat intensif.
Perubahan demi perubahan terjadi dalam pertunjukan reyog, selain sesaji dan
pembacaan mantra-mantra menyusut di beberapa grup, musik dan nyanyian
Proses Islamisasi sangat mencolok dipengaruhi oleh musik dan nyanyian dari kalangan santri,
yang dimulai dengan pesantren sendiri telah mengapresiasi reyog meski harus dengan mengubahnya
penggunakan lagu- sesuai dengan tradisinya. Lagu-lagu shalawat badr dan musik hadrah yang
lagu shalawat badr dan
musik hadrah dalam sebelumnya hanya dilantunkan di langgar, masjid, dan rumah-rumah kaum
pertunjukan reyog dan santri kini menjadi bagian dari pertunjukan reyog, dan dalam beberapa kasus,
dan pendukungnya jathil tidak lagi menggunakan celana kutungan dan udeng, tetapi bercelana
berjalan sangat intensif. panjang dan berjilbab. Pada pembukaan Grebeg Syuro 2002, misalnya, musik
Lagu-lagu shalawat yang mengiringinya adalah musik kolaborasi antara musik reyog dengan
badr dan musik hadrah
menjadi bagian dari musik qasidah dan hadrah secara bergantian, demikian lagu-lagu panaragan
pertunjukan reyog, dan dan petrojayan bergantian dengan shalawat badr, barzanji, dan kasidah. Dan
dalam beberapa kasus. pembukaan Grebeg saat itu juga ditutup dengan pembacaan doa oleh KH.
Syukri Zarkasyi, pemimpin dan pengasuh Pondok Modern Gontor Ponorogo.
342