Page 352 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 352

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    diubah, diperbaiki dan selanjutnya dimanfaatkan untuk berdakwah Islam. Dan
                                    nama kesenian ini, yaitu reyog telah disesuaikan dengan bahasa Arab riyaqun
                                    yang berarti husnul khotimah.”

                                    Tentang Betara Katong sendiri, mitos yang berkembang bahwa ia adalah
                                    salah satu anak Bhre Krtabhumi dari salah satu isteri selirnya. Sejak kecil, ia
                                    diasuh oleh kaka tirinya, Raden Patah di Demak dan menjadi muslim. Dengan
                                    didampingi Sunan Kalijaga, ia ditugaskan untuk menghadapi Ki Ageng Kutu
                                    (tidak jelas apakah lebih sebagai balas dendam atau murni untuk Islamisasi) dan
                                    menghancurkannya. Perang hebat Katong-Kutu dilukiskan berlangsung cukup
                                    lama, sesekali Katong dipukul mundur, dan pada saat yang lain terjadi sebaliknya,
                                    dan akhirnya, berkat bantuan Ki Ageng Mirah yang menunjukkan pengapesan
                                    (kelemahan) Kutu, Katong berhasil mengalahkan Kutu yang oleh masyarakat
                                    Ponorogo sekarang disebut mukso (hilang berikut raganya). Agak sulit memang
                                    memahami sejarah awal Ponorogo ini, karena semua narasi tentang Betara
                                    Katong, seperti Babad Ponorogo (Purwowijoyo, 1985), “ingatan” warga (cerita
                                    lisan), dan sejumlah pidato elite politik di daerah itu,  lebih menggambarkan
                                    bahwa ia adalah da’i pertama yang berhasil mengislamisasi Ponorogo secara
                                    gemilang, bukan sebagai tokoh politik yang berhasil menumpas oposisi secara
                                    “militer”. Effendy (2002; 15) menyebut mukso adalah konstruksi rezim Katong
                                    yang bisa jadi memang untuk menghilangkan jejak Kutu dan pengikutnya
                                    dalam diskursus sejarah Ponorogo, karena yang terjadi kemudian hingga
                                    sekarang, selain Kutu sendiri hanya menjadi mitos yang terbatas dan karenanya
                                    menjadi marjinal dalam sejarah Ponorogo, jasa Kutu menciptakan reyog yang
               Kutu sendiri hanya   satiris ditandingi dengan, bahkan dikalahkan oleh mitos penciptaan reyog ala
              menjadi mitos yang    Bantarangin. Menjadilah, dengan demikian, Kutu tenggelam dalam diskursus
             terbatas dan karenanya
             menjadi marjinal dalam   umum tentang Ponorogo, dan satu-satunya prasasti yang mengenali Kutu adalah
             sejarah Ponorogo, jasa   nama sebuah tempat dimana ia membangun kekuatan oposisi yang hingga kini
               Kutu menciptakan     disebut Desa Kutu (terakhir wilayah itu terbagi menjadi dua desa, Kutu Wetan
               reyog yang satiris   dan Kutu Kulon). Secara eksplisit Effendy menyebut proses pe-mukso-an itu
               ditandingi dengan,   sebagai mengubur mitos Kutu untuk merenda kekuasaan baru.
               bahkan dikalahkan
             oleh mitos penciptaan
             reyog ala Bantarangin.   Bukan  hanya  itu.  Reyog  yang  satiris  dan  representasi  oposisi  itu,  di  tangan
             Kutu tenggelam dalam   Ki Ageng Mirah, diubah menjadi cerita panji dengan memasukkan tokoh
                diskursus umum      Kelana Sewandana sebagai representasi Betara Katong yang dalam teks
             tentang Ponorogo, dan   pertunjukan reyog hingga sekarang selalu berhadapan dengan Singobarong
              satu-satunya prasasti
             yang mengenali Kutu    sebagai representasi Ki Ageng Kutu yang setelah melalui peratungan, sekaligus
              adalah nama sebuah    untuk mengakhiri pertunjukan, dimenangkan oleh Kelana Sewandana. Tidak
               tempat dimana ia     ditemukan data (dokumen tertulis dan keterangan lisan) tentang bagaimana
             membangun kekuatan     proses perubahan itu berikut dampak (respons) nya di kalangan konco reyog
              oposisi yang hingga   berlangsung. Apa yang sekarang tersaji adalah pertunjukan reyog versi Mirah
             kini disebut Desa Kutu
                                    (dikenal sebagai versi Katong) ini.










                    338
   347   348   349   350   351   352   353   354   355   356   357