Page 355 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 355

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Santrinisasi reyog dilakukan, pertama, dengan mengisi pengajian intensif pada
           acara rutin yang diselenggarakan oleh konco reyog di lingkungannya masing-
           masing. Hampir setiap perkumpulan (paguyupan) konco reyog telah cukup
           lama mentradisikan pertemuan rutin, minimal dalam bentuk arisan, untuk
           membicarakan berbagai hal terutama yang berkaitan dengan perkembangan
           kesenian atau grupnya. Setelah  tahun 1993, ketika  revitalisasi  reyog marak
           dilakukan oleh pemerintah daerah, sering dimanfaatkan oleh YRP untuk
           memberi wejangan-wejangan tentang bagaimana reyog dikembangkan ke
           depan dan sekaligus memberi pengajian Islam untuk menata bagaimana
           kesenian itu lebih bercorak Islami. Berikut adalah catatan lapangan yang dibuat
           oleh Effendy (1998a; 223) dari desa X, 16 km selatan kota Ponorogo pada awal
           Oktober 1997.


           Pertemuan itu berlangsung di rumah ketua perkumpulan reyog dengan dihadiri
           oleh 3 orang dari kantor camat, 2 orang dari perwakilan yayasan reyog setempat,
           1 orang ulama (kiai setempat), dan 4 orang dari kantor desa. Sementara dari
           onco reyog, hadir sekitar 24 orang, rata-rata usia muda (20-35 tahun). Saya
           kira  pertemuan  akan  berlangsung  secara  dialogis,  audiensi  dan  “dua  arah”,
           tetapi ternyata hanya satu arah. Sekretaris camat (Sekwilcam), ketua perwakilan
           yayasan, dan seorang ulama yang mendominasi pertemuan, namun dari
           ketiga tokoh itu, ulamalah yang paling lama menggunakan waktu. Mereka
           memberikan ceramah begiliran dengan tema yang berbeda-beda. Sekwilcam
           menyampaikan  program  pemerintah  mengenai  pertanian,  keamanan,  dan
           pesan keharusan segera membayar pajak bumi dan bangunan (PBB), ketua
           perwakilan yayasan memberikan penjelasan mengenai persiapan festival reyog
           menjelang 1 Syuro, keharusan menjaga keseragaman pertunjukan reyog dan
           keuntungan-keuntungan bila reyog dipilih sebagai, meminjam istilahnya, duta
           budaya  dan  suguhan  pariwisata.  “Milo mekaten, monggo kita bangun, kita
           kembangkan kesenian kita niki sesuai kalian kebutuhan bangsa kita, bangsa
           Indonesia”, katanya mengakhiri ceramahnya. Sementara pak kiai memberikan
           ceramahnya mengenai bagaimana reyog dikembangkan sesuai dengan ajaran
           Islam. Minuman keras yang memang agak lazim dalam pertunjukan reyog,
           pembakaran kemenyan, mantra-mantra kejawen, kebiasaan meninggalkan
           shalat saat melakukan pertunjukan, adalah sederet masalah yang dikupas,
           dikritik,  dan  diminta  untuk  ditinggalkan  oleh  sang  kiai.  “Ojo lali, reyog iku
           warisane mbah Katong, ulama yang membimbing kita ke jalan sing paling
           bener, yaiku Islam”, pesan pak kiai di akhir ceramahnya.

           Kedua,  dalam  bentuk  teks pertunjukan,  santrinisasi  reyog  dilakukan  dengan
           mengubah nyanyian dan senggaan dengan shalawat badr dan puji-pujian yang
           biasa dilantunkan di langgar atau masjid menjelang shalat berjamaah, bahkan
           ada pula yang menambah dengan melagukan beberapa syair barzanji, karya
           Al-Busyairi. Oleh sebab itu, suara gemuruh  lir bata rubuh yang menyertai
           iring-iringan pertunjukan reyog, sejak saat itu berubah menyerupai, dari sudut
           nyanyian dan senggaan, koor nyanyi rombongan hadrah (di Ponorogo dikenal





                                                                                                341
   350   351   352   353   354   355   356   357   358   359   360