Page 359 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 359
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Mendu, Angkaran Dewa, Kilan Cahaya, para jin, dan wakil rakyat seluruhnya
dibawakan oleh laki-laki, sementara putri-putri (Lela, Mayang, dan Khairani),
dan para dayang diperankan oleh perempuan. Siti Mahdewilah satu-satunya
peran peremuan dibawakan oleh laki-laki muda yang “cantik”.
Cerita yang disajikan dalam pertunjukan mendu didominasi oleh kisah percintaan
Dewa Mendu, Angkaran Dewa, dan Kilan Cahaya dengan empat putri dari
empat kerajaan. Empat kerajaan yang disajikan seolah hanya menjadi latar
cerita; perang antar kerajaan memang terjadi, tetapi itu pun juga karena soal
putri yang diculik dan disihir berubah bentuk. Dialog dalam berbagai adegan
berlangsung sangat pendek dan selanjutnya dipenuhi oleh nyanyian dan pantun,
semuanya menggunakan bahasa Melayu klasik; hanya adegan jin yang lucu Cerita yang disajikan
mengundang banyak tawa menggunakan bahasa Melayu harian bercampur dalam pertunjukan
mendu didominasi
dengan bahasa Indonesia. Dialog dalam adegan kerajaan (antara raja, perdana oleh kisah percintaan
menteri, hulubalang, pahlawan, dan wakil rakyat), kecuali kerajaan Antasina Dewa Mendu,
yang kafir, selalu diawali dan diakhir dengan assalamualaikum-walaikumsalam. Angkaran Dewa,
dan Kilan Cahaya
Mendu merupakan salah satu teater rakyat yang populer di dunia Melayu dengan empat putri
Indonesia, di samping mak yong, wayang bangsawan, dan lang-lang buana. dari empat kerajaan.
Mendu merupakan
Bahkan di gugusan Pulau Tujuh (Natuna-Anambas), mendu lebih terkenal dan salah satu teater rakyat
mempunyai sejarah lebih panjang daripada wayang bangsawan dan lang-lang yang populer di dunia
Buana; teater makyong tidak pernah “hadir” di wilayah kepulauan itu. Wayang Melayu Indonesia, di
bangsawan yang lebih populer di Daek-Singkep dan lang-lang buana pernah samping mak yong,
hidup dan berkembang pada dasawarsa 50-60-an di beberapa kampung di wayang bangsawan,
wilayah itu, tetapi “tenggelam” sejak 70-80 an; pada tahun 1993 sisa-sisa lang- dan lang-lang buana.
lang buana dapat disaksikan di Desa Ceruk (sekarang ikut Kecamatan Bunguran
Timurlaut) dalam keadaan yang amat memprihatinkan.
Meski tidak seseru perdebatan mitos kelahiran reyog di Ponorogo, perdebatan
tentang asal-usul mendu di Natuna juga berlangsung cukup lama dan tidak
menemukan kesepakatan akhir. Syafii, Buhat, dan Fatah di Ranai, misalnya,
meski tidak menyaksikan awal mula mendu lahir di Natuna, percaya akan cerita
pendahulu bahwa mendu berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Akan tetapi,
BM Syamsudin, Ahmadiyah, dan Ajar dari Sedanau (pulau kecil tetapi ramai di
sebelah barat Pulau Bunguran) lebih percaya bahwa mendu Natuna dilahirkan
oleh orang-orang Natuna sendiri. BM Syam mengaku acapkali mendengar cerita
bahwa mendu bermula dari permainan sejumlah petani kelapa di Bunguran,
saat mereka istirahat siang hari dari kelelahan bertani ladang di sela-sela pokok
kelapa. Mereka membuat permainan dramatik yang kemudian berkembang
menjadi teater mendu. Entah mana yang benar, tetapi dari segi cerita yang
dimainkan, seperti disinggung sepintas dimuka, teater mendu di kedua wilayah
itu sangat berbeda. Jika di Natuna-Anambas cerita yang diangkat adalah Dewa
Mandu, maka cerita mendu di Kalimantan Barat adalah Hikayat Siti Zubaidah.
Hikayat Dewa Mandu memang tidak populer di Kalimantan Barat, dan begitu
juga Hikayat Siti Zubaidah juga tidak terkenal di Natuna-Anambas.
345