Page 362 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 362

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    warga untuk berwasilah dengan berbagai keperluan. Orang hunian dipercaya
                                    sebagai keturunan seorang Dewa yang tak bisa kembali ke khayangan karena
                                    “kepergok” kedatangan Nabi Muhammad di Arab. Mahluk halus ini sekarang
                                    dipimpin oleh syekh Husein di puncak Gunung Ranai. Para tetua di Natuna
                                    percaya bahwa mereka adalah muslim yang selalu ikut shalat i’dulfitri bersama
                                    manusia di berbagai masjid dan lapangan di pulau itu. Setiap mantra-mantra
                                    dan permohonan apapun, menurut sebagian orang Natuna, harus menyebut
                                    dan berwasilah pada simpul-simpul kekuatan tersebut, terutama kramat Binjai
                                    dan syekh Husein.


                                    Pertunjukan mendu yang mistis seperti itu mulai mendapat sorotan kritis
                                    ketika arus modernisasi (puritanisai) Islam, menjelang tahun 50-an, memasuki
                                    Natuna melalui beberapa orang muda (dari kalangan elite sosial-ekonomi-politik
                                    setempat) yang berhasil menimba ilmu agama di luar wilayah itu. Melalui khutbah
                                    jum’at, pengajian, dan berbagai kesempatan lain, mereka mengkritik bahkan
                                    menstigma bahwa pertunjukan mendu dan praktik-praktik ketergantungan
                                    selain kepada Allah adalah sesat, kufur, dan dosa besar. Pada awal tahun 50-an,
                                    kisah beberapa orang tua di Ranai, telah berkembang dan tersosialisasi bahwa
                                    menonton pertunjukan mendu adalah perbuatan tercela bagi muslim yang baik,
                                    dan ibadah shalatnya selama 7 hari tak akan diterima Allah. BM Syam bercerita
                                    bahwa ayahnya, yang semula pemain mendu, setelah menunaikan ibadah haji
                                    tahun 1953, tak lagi berani menonton pertunjukan mendu; jika terpaksa harus
                                    menonton karena kerinduannya, seperti yang disaksikan BM Syam, ia menonton
                                    dengan mengintip dari balik dinding bambu di rumah yang terdekat dengan
                                    pertunjukan.

                                    Ketegangan antara para pemain dan pecinta mendu di satu pihak dengan
                                    kalangan masjid di pihak yang lain memang terjadi. Tetapi perdebatan langsung
                                    apalagi konflik adu kekuatan antara kedua kelompok itu tak pernah terjadi. Para
                                    seniman mendu cenderungan untuk tak melayani kritik dan stigma kalangan
                                    masjid tersebut, dan secara pelan-pelan berupaya mengadopsi beberapa
             Semakin menurunnya
                 pementasan         simbol keislaman ke dalam pertunjukan mendu, seperti  assalamualaikum-
                mendu tersebut      wassalamualaikumpada pembuka dan penutup setiap dialog pertunjukan,
              diperkirakan (asumsi   shalawat-salam dan bismilllah pada mantra-mantra, dan sebangsanya. Meski,
               yang paling kuat)    semua itu berlangsung dengan tetap memertahankan kepercayaan mistis yang
              karena tertutupnya    hingga sekarang masih belum pudar.
               bandar Singapura
               sebagai akibat dari
             konfrontasi Indonesia-  Setelah  tahun  1964,  mungkin  tidak  ada  kaitannya  dengan  politik  “hantu
             Malaysia. Tertutupnya   komunis” karena soal itu tidak mendengung di Natuna, pertunjukan mendu mulai
             perdagangan langsung   merosot hampir di semua tempat di Natuna-Anambas,khususnya pertunjukan
             Natuna-Singapura itu   untuk keperluan hajatan warga. Di Ranai, seingat Buhat, pementasan mendu
               berimplikasi serius
               pada merosotnya      terakhir dalam pesta perkawinan berlangsung pada awal 1965. Sementara
             perekonomian Natuna    pementasan mendu terakhir di Sedanau berlangsung kira-kira pada tahun 1969.
                 secara drastis.    Semakin menurunnya pementasan mendu tersebut diperkirakan (asumsi yang
                                    paling kuat) karena tertutupnya bandar Singapura (orang Natuna biasa menjual





                    348
   357   358   359   360   361   362   363   364   365   366   367