Page 364 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 364
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
(setiap bulan April) di Ternate yang menyajikan berbagai kegiatan: pentas seni,
karnaval, perlombaan, apresiasi sastra, seminar/lokakarya, pameran-pameran,
hingga pasar malam; Legu Gam mungkin mirip dengan sekaten di Yogyakarta
dan Cirebon, atau grebeg suro di Ponorogo, Jawa Timur. Pilihan itu juga untuk
membedakan dari legu-legu di kalangan masyarakat Galela yang dalam catatan
Adnan Amal (2013a; 85-86) berupa nyanyian koor muda-mudi lebih untuk
bersenang-senang.
Berbeda dengan itu, legu kedato merupakan tari yang memuat begitu banyak
kandungan sakral, lebih banyak dilakukan untuk upacara atau prosesi ritual
tertentu, dan melibatkan 5 orang penari atau lebih, bahkan bisa sampai 25
orang. Mereka adalah perempuan muda yang masih gadis/perawan, konon ini
demi menjaga sakralitasnya karena diyakini keperawanan adalah representasi
kesucian, dan berasal dari keturunan Soa (marga Soangare atau Soa Ngongare),
suatu komunitas kekerabatan yang sejak dahulu menjadi “abdi dalem” yang
setia di Kesultanan Ternate. Justru karena sakralitas itulah, legu kadato telah
sejak lama hanya dipentaskan di lingkungan istana dalam rangka ritual kebesaran
kesultanan seperti penobatan Sultan (Sinonako Jou Kolano), penetapan
permaisuri (Sinonako Jou ma-Boki), ulang tahun Sultan, atau penyambutan
tamu agung.
Tari legu kedato diiringi dengan musik khas Ternate dengan alat-alat: 2 tifa kecil
dan sebuah gong yang mengikuti lantunan suara 2 orang penyanyi perempuan
yang membawakan lagu-lagu yang diangkat dari syair-syair kuno Ternate,
seperti doradololo(ungkapan-ungkapan bersifat sindiran), dalil tifa(peribahasa
berbentuk nasehat), dan dalil moro(puisi perumpamaan untuk ditiru). Dengan
memakai baju kurung berlengan panjang penuh manik-manik di bagian leher,
rok hingga ke tumit, selendang merah-kuning terikat di pinggang, kipas, dan ikat
kepala warna kuning keemasan dan berbentuk mahkota, para penari meliuk-
liukkan gerak tangan dan tumit (tidak menyajikan gerak pinggul dan kepala)
membentuk pola melingkar dengan komposisi yang berubah-ubah. Mungkin
karena tari ini sakral, maka kseluruhan gerak-geraknya berlangsung lamban.
Beberapa informasi, antara lain dari Adam (60 tahun, pemerhati kebudayaan
Ternate, dan pengurus wilayah NU Maluku Utara), menyebutkan bahwa
sebelum dikelola khusus oleh keraton dan dikenal sebagai legu kedato, kira-kira
hingga sekitar awal abad ke-20, tari tradisi ini juga dilakukan untuk mengiringi
pemakaman jenazah yang terbuka untuk warga masyarakat secara umum.
Dalam konteks ini, para penari sambil menyanyi atau menyuarakan ungkapan-
ungkapan sedih disertai dengan tangis tersedu, meraung, bahkan sebagian
tak sadarkan diri. Masyarakat Maluku Utara, seperti yang sisa-sisanya dapat
disaksikan dalam komunitas Tobelo dan Galela di Halmahera hingga sekarang,
memiliki tradisi untuk menyikapi kematian dan pemakaman dengan tagisan
meraung-raung, menyebut-nyebut kebaikan almarhum dan meminta agar
dikembalikan hidup, yang dikenal dengan dodora (Adnan Amal, 2013b; 71-75).
350