Page 358 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 358

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    tentang kebudayaan Melayu (telah meninggal tahun 1996), sempat berpolemik
                                    dengan Henri Chambert-Loir, filolog yang mengangkat hikayat itu sebagai
                                    disertasi doktoralnya di Paris, dan Kasim Ahmad dari Institut Kesenian Jakarta
                                    (IKJ) yang menegaskan bahwa lakon yang disajikan teater mendu merupakan
                                    saduran dari Hikayat Dewa Mandu. Isi dan alur cerita sangat mirip, dan jika ada
                                    perbedaan, mungkin hanya karena soal resepsi para pendukung mendu. BM Syam
                                    bersikukuh bahwa lakon yang dimainkan mendu Natuna-Anambas tidak berasal
                                    dari hikayat tertulis. Lalu bagaimana dengan lirik lagu pembuka pertunjukan
                                    mendu  yang  berbunyi:  “ladunlah  lakon,  bukan  sembarang  lakon.  Lakonlah
                                    ada di dalam hikayat”? Syafii Abdurrahman, pemain mendu terpopuler tahun
                                    50-60an dari Ranai, atas keterangan gurunya, Syekh Mahmud, menandaskan
                                    bahwa  lakon  mendu  ada  kitabnya.  “Guru  saya  menyimpan,  tetapi  saya  tak
                                    boleh membacanya, karena bisa menyebabkan murtad bila belum sampai
                                    derajatnya”,  kisahnya  pada  Agustus  1997.  Seperti  yang  terjadi  di  sejumlah
                                    kalangan dan tempat, beberapa naskah kuno dipandang sebagai warisan yang
                                    keramat, dan bisa jadi, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, generasi
                                    berikutnya tidak boleh memperlakukan atau membaca sesukanya.

                                    Pertunjukan mendu melibatkan antara 40-45 orang pemain-pemusik, termasuk
                                    khalifah. Alat musik yang dipergunakan adalah 2 buah biola (istilah setempat:
                                    fiul), satu buah kendang, satu gong, 2 buah kenong, satu buah beduk, dan satu
                                    buah kaleng bekas yang dibunyikan oleh 7 orang pemusik. Biola, kendhang,
                                    dan gong merupakan alat musik terpenting dalam pertunjukan mendu, tetapi
                                    beduk juga sangat penting. Alat ini dibunyikan (ditabuh) bertalu-talu (sekitar
                                    15 menit) terutama sebelum pertunjukan sebagai penanda pertunjukan akan
                                    segera dimulai. Tetapi  sebagai penarik warga berduyun-duyun menonton
                                    adalah suara biola yang meliuk dan mendayu. Di masa lalu, biola dikeramatkan,
                                    tidak boleh sembarang pegang apalagi menggeseknya, dan beri mantra dan
                                    diusapi asap kemenyan setiap ia hendak dibunyikan mengiringi pertunjukan,
                                    agar  orang  tersihir  menjadi  terkesima.  “Dahulu,  suara  biola  bisa  terdengar
                                    sampai di luar kampung dan orang-orang yang mendengarnya akan tersihir
                                    untuk segera datang menonton, meski jauh di seberang kampung”, kenang
              Pertunjukan mendu     Syafii Abdurrahman (mantan pemeran Dewa Mendu) dan Buhat (penggesek
               melibatkan antara
              40-45 orang pemain-   biola grup mendu Kilan Cahaya di Ranai, Bunguran). Dalam pertunjukan mendu,
               pemusik, termasuk    yang menjadi pemikat utama sekaligus menjadi ukuran bagus-tidaknya, kata
              khalifah. Alat musik   mereka, adalah ketampanan pemeran Dewa Mendu dan suara biola.
              yang dipergunakan
              adalah 2 buah biola   Para pemain terbagi untuk memerankan: Dewa Mendu dan adiknya, Angkaran
             (istilah setempat: fiul),
              satu buah kendang,    Dewa; putri raja Antapura, Siti Mahdewi dan para dayang (3-4 orang); Kilan
               satu gong, 2 buah    Cahaya, anak Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi; empat orang raja (Langkadura
               kenong, satu buah    dari negeri Antapura, Laksamalik dari negeri Antasina, Bakhilani dari negeri
             beduk, dan satu buah   Ikhwani, dan Khormansyah dari negeri Anaberente); putri Lela, putri Mayang, dan
               kaleng bekas yang    puri Khairani; empat perdana menteri (dari setiap kerajaan); empat hulubalang;
               dibunyikan oleh 7
                orang pemusik.      empat pahlawan; dan selebihnya memerankan sebagai wakil rakyat, para jin, dan
                                    bala tentara. Peran-peran raja, perdana menteri, hulubalang, pahlawan, Dewa





                    344
   353   354   355   356   357   358   359   360   361   362   363