Page 353 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 353
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Tampaknya memang begitulah nasib kesenian rakyat Ponorogo ketika ia
berada di pangkuan generasi pewaris yang terkotak dalam kubu-kubu berbeda
dan membentangkan relasi kuasa yang berlawanan. Reyog menjadi “harta
waris” yang diperebutkan antar kelompok generasi pewaris dengan berbagai
kepentingannya yang berubah antar generasi sesuai dengan perkembangan
zaman. Pada tahun 50-an dan awal 60-an, reyog memang mencapai puncak
perkembangan dan kejayaannya sepanjang abad ke-20 hingga sekarang, tetapi
pada waktu itu pula kesenian ini diperebutkan sangat seru antar lembaga-
lembaga kebudayaan – dan kesenian – yang berinduk di partai politik. Barisan
Reyog Ponorogo (BRP), satu-satunya organisasi penghimpun reyog yang, secara
resmi, tidak berafiliasi ke partai politik, tidak mampu menyelamatkan reyog
dari pertengkaran, konflik, dan perpecahan gurp-grup dan para konco reyog.
Bahkan hanya setahun setelah BRP itu berdiri tahun 1956, lahirlah organisasi
baru, Barisan Reyog Nasional (BREN) yang diprakarsai oleh Marto Jleng dari
LKN-PNI. BRP memang mampu mendominasi reyog dibanding BREN, seperti
yang terlihat dalam Kongresnya tahun 1964 di Kota Ponorogo yang dihadiri
oleh 364 perkumpulan (grup) dari 303 desa di seluruh Ponorogo yang dalam
pemilihan ketuanya berhasil memenangkan Lekra. Tetapi justru Kongres itulah
yang kemudian melahirkan perpecahan baru di tubuh BRP dimana sejumlah
tokohnya keluar dan mendirikan organisasi reyog sendiri atau mendirikan
(menciptakan) grup kesenian baru untuk mengimbangi reyog. Kiai Mujab,
pemimpin Lesbumi yang kala itu juga aktif di BRP dan mengikuti Kongres,
misalnya, segera mendirikan Cabang Kesenian Reyog Agama (CAKRA) yang
kemudian disusul oleh Kesenian Reyog Islam (KRIS). Bahkan sejumlah tokoh
dan seniman reyog muslim (di luar CAKRA dan KRIS) yang kecewa terhadap
hasil Kongres BRP menciptakan kesenian-kesenian baru seperti gajah-gajahan
dan onta-ontaan, dua kesenian yang mirip singa-singaan di Jawa Barat, sebagai
respons terhadap BRP yang dikuasai Lekra.
Berbeda dengan perebutan yang berporos pada diskursus asal-susul, perebutan
reyog waktu itu sama sekali tidak mengembangkan sejarah awal kesenian
diciptakan, seolah siapa pun yang menciptakan menjadi tidak penting. Bagi
generasi pewaris di tahun 50-an dan awal 60-an itu, tampaknya, yang terpenting
adalah reyog, yang telah menjadi bagian dari kehidupan kultural orang Ponorogo
itu, sangat strategis untuk dijadikan medium mobilisasi massa, sesuatu yang Perebutan reyog
paling penting (vital) dalam pergerakan politik; bukankah kelompok-kelompok waktu itu bukanlah
yang memperebutkan reyog saat itu adalah organ-organ partai politik. Effendy untuk kepentingan
kesenian itu sendiri,
(1988a; 212) mengatakan bahwa perebutan reyog waktu itu bukanlah untuk melainkan merupakan
kepentingan kesenian itu sendiri, melainkan merupakan persaingan komunisme persaingan komunisme
versus Islam, dan yang paling praktis adalah perebutan massa pendukung dalam versus Islam, dan yang
percaturan politik lokal maupun nasional yang semua itu sebenarnya berada di paling praktis adalah
luar diri kesenian bersangkutan dan pendukungnya, karena soal ideologi dan perebutan massa
pendukung dalam
agama sesungguhnya teramat sulit dipertanggung-jawabkan secara empirik percaturan politik lokal
kepada mereka. Mungkin karena itulah, maka tentang teks pertunjukan reyog maupun nasional.
kala itu sama sekali tidak dipersoalkan.
339