Page 351 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 351
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
reyog Onggopati dari Pulung itu, oleh kebanyakan orang Ponorogo saat itu
dianggap aneh, tetapi Effendy (Kompas, April 2003; 18) dibaca sebagai reyog
oposisi.
Kebanyakan konco reyog sekarang memang percaya bahwa sejarah reyog
berasal dari mitos Bantarangin, sebuah kerajaan yang dipercaya terletak di antara
gunung Lawu dan gunung Wilis dengan raja sakti bernama Kelena Sewandana.
Ia (sang raja) berminat mempersunting Dewi Songgolangit yang cantik jelita
dari kerajaan Kediri (sekitar abad ke-12). Sang raja meminta perdana menteri
dan sejumlah pasukan Bantarangin mengiringnya ke Kediri untuk melamar
sang putri yang ternyata di tengah jalan, di hutan Lodaya, rombongan Kelana
Sewandana dihadang oleh penguasa hutan itu bernama Singo Barong yang,
setelah perang beberapa saat, penguasa Lodaya itu dapat dikalahkan kemudian
bersedia menjadi pengikut Kelana Sewandana. Sesampainya di Kediri dan niat
kedatangan di sampaikan, Dewi Songgolangit bersedia menerima lamaran
Kelana Sewandana dengan 2 syarat yang cukup berat, yaitu: mempersembahkan
seperangkat gamelan dan pertunjukannya yang belum pernah ada di dunia;
dan perjalanan iring-iringan penganten harus dilakukan dibawah tanah. Kelana
Sewandana menerima kedua syarat itu dan, dengan dibantu perdana menteri
dan singobarong segera menyiapkannya. Namun seluruh rencana perkawinan
raja Bantarangin dan Dewi Songgolangit gagal karena sang putri meninggal
(bunuh diri) lantaran ia mentehaui dirinya mandul. Kelana Sewandana pun
dirundung kesedian mendalam dan kemurungan yang panjang, dan untuk
menghiburnya atau memperingati peristiwa itu,, sang perdana menteri lalu
menciptakan pertunjukan yang menggambarkan perjalanan lamaran dan
kemenangan atas Singo Barong tersebut. Itulah sebabnya pertunjukan reyog
selalu diselenggarakan dalam bentuk iring-iringan.
Proyek revitalisasi reyog Ponorogo yang diprakarsai oleh pemerintah melalui
yayasan bentukan pemerintah kabupaten setempat, Yayasan Reog Ponorogo
(YRP), juga mempunyai pandangan yang sama. Proyek yang sangat berpengaruh
pada perubahan-perubahan reyog mutakhir menjadi pertunjukan panggung
dan diwarnai tari warok ini, telah mencatat dalam buku-buku panduannya dan
sinopsis yang diedarkan setiap Grebeg Suro bahwa reyog berasal dari Bantarangin.
Akan tetapi, sejumlah tokoh pengelola YRP sendiri, dalam praktiknya, justru lebih
memperlihatkan “kiblat”nya pada Betara Katong. Mereka selalu menegaskan
bahwa reyog memang berasal-usul dari Bantarangin, tetapi Betara Katong telah
mengubahnya menjadi Islami, bahkan telah dijadikan media dakwah Islam
yang sangat efektif. Dalam soal asal-usul ini, beberapa kiai pesantren tokoh-
tokoh ormas Islam yang selama ini menunjukkan keakrabannya dengan reyog
cenderung tidak mempedulikan Bantarangin, dan hanya percaya bahwa reyog
adalah gubahan Betara Katong. KH. Mujab, pengasuh dan pemimpin pesantren
Al-Idris di kota Ponorogo, misalnya, seperti yang dirilis majalah Desantara (edisi 5
tahun 2002), menegaskan: “bagi saya apakah reyog itu diciptakan Suryongalam
atau Bantarangin tidak penting, karena pada zaman Betara Katong, reyog telah
337