Page 346 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 346
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
harus terlebih dulu dilakukan. Pandangan yang diamini oleh banyak kiai
pesantren di Lombok dan di tempat-tempat lain ini berlawanan dengan (seolah
seperti ditukas oleh) pandangan Gurutta Wahab Zarkasyi dari pesantren DDI
Mangkoso, Barru, Sulawesi Selatan yang menegaskan bahwa hubungan ulama
dengan kesenian tradisi adalah soal mu’amalah, bukan soal ubudiyah yang
dimungkinkan tidak setuju, tetapi tidak boleh mencampuri paksa, apalagi
melarangnya. Apa hak kita?, tegas kiai Wahab setelah menyatakan bahwa
berkesenian adalah hak yang mesti dihargai.
Tentu, kiai Wahab tidak sendirian. Kiai Thontowi Musyaddad (Garut, Jawa Barat)
dan kiai Adib Masruha (Brebes, Jawa Tengah) mengajukan pandangan yang
sama bahwa berkesenian adalah hak setiap orang dengan jaminan memperoleh
penghargaan dan perlindungan. Dalam sebuah halaqah di pesantrennya di Garut
kiai Thontowi mempertanyakan: “apakah kalau negara berhasil merubah Kidung
Selamatnya jaipong pantura dengan Kidung Pancasila, kita akan merubah lagi
menjadi Kidung Shalawat Nariyah? Baik kiai Wahab, kiai Thontowi, maupun kiai
Adib sepakat bahwa di dalam menentukan pandangan dan membangun sikap
terhadap kesenian, haruslah mengingat sebuah hadits Nabi, riwayat Bukhori:
“dari Aisyah: sewaktu Rasulullah SAW masuk ke rumah saya, di depan saya ada
dua perempuan sedang memainkan musik sambil menyanyi dan menari, maka
Abu Bakar menghardik mereka. Rasulullah segera menyahut: Biarkanlah, karena
setiap kaum mempunyai hari-hari bahagia. Sebuah hadits yang menunjukkan
keharusan memberikan hak berkesenian kepada sispa pun.
Kedua, meski sebenarnya cukup banyak kiai pesantren yang apresiatif
terhadap kesenian tradisi, kekhawatiran bahkan ketakutan sebagian seniman
tradisi terhadap kiai dan pesantren masih kuat dan meluas di banyak tempat.
Pernyataan seorang seniman (pemimpin grup) kethoprak Bakaran (Pati, Jawa
Tengah): “kulo ajeng dinapakne malih” (saya mau diapakan lagi) kepada panitia
yang mengundangnya untuk pentas di pesantren Raudlatul Ulum Guyangan,
Pati, Agustus 2004 menjadi contoh yang menarik. Demikian pula permintaan
penari topeng Cirebon, Wangi Indriya “didampingi” ketika ia diundang menari
di pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon 2006 dan keraguan yang nampak
pada Puang Saidi (pemimpin Bissu Sigere, Pangkep, Sulsel) saat diundang halaqah
kebudayaan di pesantren di Mangkoso 2005. Pernyataan seniman kethoprak
Bakaran, permintaan Wangi, dan keraguan Saidi adalah penanda sangat jelas
bahwa hubungan antara pesantren dan kesenian tradisi telah menorehkan
kisah-kisah tak nyaman bagi kesenian tradisi, mungkin di masa lalu, tetapi kini
masih membekas.
Ada dua cerita (kejadian) menarik, pertama, seorang guru pesantren Raudlatul
Ulum (Pati) sangat kaget ketika menyaksikan langsung pertunjukan tayub dan
kethoprak di pesantrennya. Dalam halaqah esok harinya, ia mengatakan: “saya
kira begitu-begitu saja, tak berbeda dengan apa yang kita saksikan di televisi”.
Guru yang baru pertama kali menonton kesenian itu secara langsung karena
332