Page 342 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 342
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
diasporik, dan lebih lokalistik, relasi tegang antara agama dan seni tradisi
mengemuka kembali pada akhir tahun 80-an. Fatwa haram dan pencekalan
terhadap Inul oleh syriah NU Jawa Timur dan MUI pusat 2002, beberapa
insiden kelompok Islam tertentu menyerbu dan menggagalkan pementasan-
pementasan kesenian: jaipong di Banten 2004; tayub di Blora 1990; dan
endhok-endhokan di Banyuwangi 2007, keputusan MUI Aceh tentang mana
kesenian yang boleh (mubah) dan mana pula yang tidak boleh (haram) tahun
1987, dan stigma-stigma (haram, syirk, maksiat, amoral, dan lain-lain) terhadap
kesenian yang secara laten bermunculan di banyak daerah, merupakan ilustrasi
betapa hubungan antara Islam dan seni pertunjukan tidak harmonis.
Sejumlah peneliti dari Pusat Studi Budaya, Universitas Muhammadiyah Solo
(PSB-UMS) menyatakan:
“.... langkah surut terjadi ketika Muhammadiyah terperangkap
ideologisasi gerakan dalam bentuk formalisasi syariah yang menuntut
biaya kultural yang harus dibayar. Yaitu bahwa Muhammadiyah terlibat
sebagai salah satu kekuatan penggilas berbagai tradisi lama, baik
atas nama agama maupun atas nama modernisasi. Dari sisi agama,
berbagai tradisi lokal yang berkembang di tengah masyarakat dianggap
mengandung unsur syirk, tahayul, dan khurafat yang bisa menjauhkan
umat dari agama dan Tuhannya. Sementara dari sisi modernisasi, berbagai
tradisi lokal itu sesungguhnya kontra-produktif bagi tatanan masyarakat
baru di era industri. Formalisasi syariah berpengaruh pada persentuhan
Muhammadiyah dengan kesenian, terutama kesenian lokal. Hampir setiap
tradisi lokal, baik tradisi santri maupun tradisi kejawen melahirkan ekspresi
kesenian. Berbagai tradisi lokal itu diidentikkan oleh Muhammadiyah
mengandung niat yang berakar pada tradisi pra-Islam, sehingga dianggap
penyimpangan dan kesesatan. Dengan cara ini, ekspresi kesenian yang
lahir dari tradisi lokal meskipun dikemas dengan identitas santri, tetap
dianggap bertentangan dengan syariah Islam.” (Asykuri Ibn Chamim dkk,
2002; 3-4).
Suatu pernyataan yang mengingatkan kita pada kesaksian C. Geertz (1983;
218-219) bahwa Muhammadiyah dianggap melakukan pemutusan secara
radikal dengan tradisi dan konteks sosial budaya dimana ia berkembang sebagai
implikasi dari pemurnian Islam yang dicita-citakannya.
Pernyataan generasi muda Muhammadiyah tersebut memang general dan
sangat mungkin tidak terbukti bagi sebagian tokoh atau orang Muhammadiyah
di beberapat tempat. Mitsuo Nakamura (1983), yang melakukan penelitian
di salah satu pusat konsetrasi Muhammadiyah, Kota Gede, Yogyakarta,
menyaksikan bahwa di tengah/dalam bingkai besar kemodernan dan puritannya
328