Page 338 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 338
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Keterlibatan kesenian dalam partai politik atau organ-organnya yang beraliran
non-agama seperti komunis merupakan sebab lain meningkatnya sentuhan dan
pandangan negatif tersebut. Seperti ditulis sejumlah peneliti kesenian, antara lain
Peacock (2005; 39-40), bahwa sejak awal kemerdekaan mulai bermunculan grup-
grup kesenian yang tertarik bergabung (berafiliasi) dengan partai politik. Ludruk
Marhaen (nama grup, tidak ada kaitannya dengan marhaenisme PNI) didirikan
tahun 1945 oleh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), kelompok yang kemudian
menjadi Pemuda Rakyat, mungkin kesenian yang paling awal berafiliasi dengan
partai politik. Grup kesenian ini memang tidak ada kaitan resmi (struktural,
organisatoris) dengan PKI dan organisasi-organisasi dibawahnya seperti Pemuda
Rakyat, bahkan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), namun para
anggota (pemain) ludruk Marhaen seringkali mendengarkan ceramah ideologi
komunis, menghadiri rapat-rapat Pemuda Rakyat dan berpartisipasi dalam Lekra.
Ludruk Marhaen, seperti dipaparkan Peacock, merupakan contoh kesenian
yang berafiliasi dengan partai politik (PKI) yang dalam pertunjukannya sering
menyajikan lakon-lakon perjuangan kelas dan kritik terhadap kaum agama
seperti lakon, yang sering disebut masyarakat Jawa Timur, Tebut Pait dan Gusti
Allah Mati. Tentu saja, fenomena ludruk Marhaen itu tidak memastikan bahwa
semua ludruk di Jawa Timur berafilisi pada PKI, karena aliran ludruk yang lebih
tua seperti ludruk Besut (dikenal sebagai ludruk Besutan) dan ludruk Gondo
Durasim (dikenal sebagai ludruk Cak Durasim) maupun sejumlah grup-grup
ludruk yang lahir kemudian (komersial maupun non-komersial) tidak menjadi
bagian dari partai komunis.
Pada tahun 1950-an hingga 1965, fenomena kesenian dan (partai) politik
Pada tahun 1950- mencapai puncuknya, ketika hampir tidak dapat ditemukan satu jenis kesenian
an hingga 1965, yang tidak berafiliasi dengan partai politik atau organ-organ dibawahnya. Hal
fenomena kesenian ini terjadi karena dua hal, pertama, pentingnya mobilisasi massa untuk gerakan-
dan (partai) politik
mencapai puncuknya, gerakan ideologis bagi setiap partai politik saat itu dan keperluannya secara
ketika hampir tidak praktis akan dukungan suara untuk berperan dalam pentas-pentas politik
dapat ditemukan nasional. Kesenian, dalam konteks itu, merupakan salah satu media amat penting
satu jenis kesenian untuk menyambungkan partai dengan massa rakyat, karena ternyata kesenian
yang tidak berafiliasi selalu mampu menjadi medium “kerumunan-kerumunan” sosial yang potensial
dengan partai politik
atau organ-organ di level bawah, selain ia juga menjadi bagian dari hidup masyarakat kebanyakan
dibawahnya. terutama kelas bawah sampai menengah. Kedua, mungkin karena itulah, semua
partai politik (PNI, NU, Masyumi, PKI, dan Parkindo) ramai-ramai membentuk
organ yang membidangi kesenian. Selain Lekra (bagian dari PKI), ada Lembaga
Kebudayaan Nasional (LKN) milik PNI, Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim
Indonesia (Lesbumi) milik NU, Himpunan Seniman dan Budayawan Islam (HSBI)
milik Masyumi – dan tentara – dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) milik
Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Hampir tidak ada kesenian di suatu daerah
yang tidak tergabung – saya lebih sreg menyebut direngkuh – oleh organ-organ
partai tersebut dengan pilihan-pilihannya masing-masing seperti di Banyuwangi:
Lekra memilih angklung; LKN memilih gandrung dan janger; Lesbumi memilih
hadrah kuntulan; dan HSBI memilih drama-drama tradisional. Tetapi, terjadi
324