Page 337 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 337
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
ubahan Sunan yang bernama asli Raden Mas Syahid. Tidak ada sumber yang
dapat menjelaskannya, bagaimana pergulatan wayang yang Hindu dengan
Islam saat itu, mengalami ketegangan, pertengkaran, dan konflik atau semua
perubahan itu diterima secara legowo, harmonis, tanpa masalah. Ceritera yang
beredar di masyarakat ialah bahwa wayang kulit yang ada sekarang adalah hasil
inovasi Sunan Kalijaga yang kemudian disebut-sebut sebagai media dakwah
para wali, meski beberapa alat musik seperti gong dan kendhang seringkali
terdengar masih kontroversial; apakah karena itu atau bukan, di Kotagede,
Yogyakarta (basis Muhammadiyah) dapat kita saksikan pertunjukan wayang
kulit tanpa alat musik dan digantikan dengan suara nayaga sesuai dengan bunyi
gamelan aslinya (musik mulut). Tidak hanya terhadap wayang kulit. Inovasi,
modifikasi, atau yang lebih umum disebut intervensi – agama Islam (sebenarnya
juga politik, pasar, dan media) juga mengenai semua kesenian yang tumbuh di
tengah masyarakat kita dengan berbagai intensitas yang berbeda. Sentuhan
Islam masa Betara Katong terhadap reyog Ponorogo di abad ke-15, seperti
akan diuraikan secara rinci di bawah, merupakan ilustrasi lain dari perjumpaan
Islam-kesenian di masa awal (kitra-kira tak lama setelah inovasi Sunan Kalijaga Awal abad ke-20,
terhadap wayang). perjumpaan Islam
dan kesenian tradisi
lebih meningkat
Awal abad ke-20, perjumpaan Islam dan kesenian tradisi lebih meningkat intensitasnya, mungkin
intensitasnya, mungkin karena perkembangan Islam Indonesia sendiri yang karena perkembangan
cenderung mengarah pada pemurnian atau dalam istilah yang lebih populer Islam Indonesia sendiri
sebagai Islam modern yang, di satu sisi lain, memunculkan pemisahan (kategori) yang cenderung
modern-tradisonal dalam konteks agama. Islam modern selalu dipaparkan mengarah pada
sebagai yang tidak toleran terhadap praktik-praktik kebudayaan lokal termasuk pemurnian atau dalam
istilah yang lebih
kesenian yang kebanyakan diwarnai dengan sesaji dan mistik – meminjam populer sebagai Islam
istilah Peacock (2005: 34-37) animisme. Sementara Islam tradisional diartikan modern yang, di satu
sebagai yang moderat, lebih memahami semua artikulasi kebudayaan setempat. sisi lain, memunculkan
Keputusan Muktamar NU ke-1 (21 Oktober 1926) yang menetapkan boleh pemisahan (kategori)
modern-tradisonal
(mubah) nya tari-tarian lenggak-lenggok dan gemulai di tengah kontroversi tari dalam konteks agama.
seperti itu di kalangan para ulama (Imam Ghozali Said, editor: 2006; 25-27), Islam modern selalu
dapat dianggap sebagai representasi dari pandangan dan sikap moderat Islam dipaparkan sebagai
tradisional. Tetapi, keputusan tentang tari itu juga diberi catatan: selama tidak yang tidak toleran
terdapat gerak yang menyerupai gerak wanita bagi kaum laki-laki dan sebaliknya terhadap praktik-
praktik kebudayaan
yang semua itu hukumnya tetap haram. Entah ada kaitannya dengan hasil lokal termasuk kesenian
Muktamar itu atau tidak, kebanyakan ulama dan kaum muslim di Kalimantan yang kebanyakan
Selatan dan Sumatera Selatan mengharamkan mamanda dan dulmuluk, dua diwarnai dengan sesaji
kesenian tradisi yang peran-peran perempuannya dimainkan oleh laki-laki dan mistik – meminjam
muda berparas “cantik”. Bahkan di kalangan masyarakat Banjar yang muslim istilah Peacock (2005:
tersosialisasi fatwa bahwa: siapa yang menonton mamanda, ibadah shalatnya 34-37) animisme.
Sementara Islam
selama 40 hari tidak akan diterima oleh Allah. tradisional diartikan
sebagai yang moderat,
Meski hampir semua pandangan dan sikap Islam modern terhadap kebudayaan lebih memahami semua
lokal dibangun atas argumen syariah-teologis, namun, sebenarnya ia bukan artikulasi kebudayaan
satu-satunya sebab sentuhan dan pandangan negatif agama terhadap kesenian. setempat.
323