Page 336 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 336
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Titik Tengkar dan Titik Temu
Pada semua kesenian tradisi di tempat yang berbeda seperti mendu, makyong,
Pada semua kesenian lengger, reyog, gandrung, jaipong, tayub, debus, dan sejenisnya, selalu
tradisi di tempat yang
berbeda seperti mendu, ditemukan teks pertunjukan dimana berbagai unsur berbaur, terlebur dalam
makyong, lengger, kesatuan pertunjukan. Agama (terutama Islam dan Hindu), ritus, kepercayaan
reyog, gandrung, setempat, dan seni hadir secara berurutan, atau bersamaan bahkan berleburan
jaipong, tayub, debus, dalam paduan teks pertunjukan. Helene Bouvier (2002; 340) dan James
dan sejenisnya, selalu L. Peacock (2005; 34-36) mempunyai pengalaman yang menarik ketika ia
ditemukan teks
pertunjukan dimana berhadapan dengan teks pertunjukan yang menyajikan paduan unsur-unsur
berbagai unsur ritus, agama, kepercayaan setempat, dan seni. Bahkan Bouvier, saat melakukan
berbaur, terlebur dalam penelitian topeng dan loddrok di Sumenep (Madura Timur), sempat dihantui
kesatuan pertunjukan. pertanyaan-pertanyaan di seputar agama (Islam, Hindu, Pra-Hindu) yang
Agama (terutama mendasari pertunjukan yang bersangkutan, meski akhirnya ia tidak menyajikan
Islam dan Hindu),
ritus, kepercayaan jawaban khusus atas pertanyaan-pertanyaan itu, karena berada di luar lingkup
setempat, dan seni penelitiannya, kecuali hanya penjelasan beberapa hal penting tentang kaitan
hadir secara berurutan, Islam dan kesenian di daerah itu. Sementara Peacock, yang melakukan
atau bersamaan penelitian ludruk di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan (Jawa Timur)
bahkan berleburan menyaksikan bagaimana pertunjukan-pertunjukan kesenian itu, terutama yang
dalam paduan teks
pertunjukan. berlangsung di kampung-kampung, menampilkan teks pertunjukan yang selalu
ada bagian ritual, penuh mistis, dengan sajen-sajen yang khas untuk leluhur dan
keselamatan pertunjukan.
Pertanyaan tentang agama yang menjadi rujukan kesenian tidak bisa dihindari
dengan ditemukannya berbagai teks pertunjukan yang mengandung unsur-
unsur keagamaan yang sesungguhnya dapat menjelaskan hubungan historis
antara agama, kepercayaan lokal, dan kesenian yang telah berlangsung lama
dan berubah-ubah (instabil) di Indonesia. Hubungan ini sesungguhnya dapat
menjelaskan dinamika kehidupan sosio-kultural masyarakat khususnya kaum
muslim, di samping kesenian itu sendiri. Kisah tentang wayang kulit yang
konon dimodifikasi (diinovasi) oleh salah seorang da’i awal di Jawa (wali
sembilan), Sunan Kalijaga mungkin menjadi ilustrasi penting soal hubungan itu.
Pertunjukan wayang kulit yang berbasis epos Mahabharata dan Ramayana dari
India, karena itu sangat Hindu, telah ada dan berkembang luas di kalangan
masyarakat Jawa sebelum agama Islam masuk bahkan menjadi bagian sangat
penting dalam hidup dan kehidupan orang Jawa, Mungkin karena itulah ia
mendapat perhatian serius para sunan (wali sembilan) yang berpusat di Demak
yang mengembangkan dakwah Islam di tanah Jawa. Konon, Sunan kalijaga
menyentuh pertunjukan ini dengan mengubah beberapa bagian penting teks
pertunjukan, seperti wujud wayang satu dimensi dari 2 atau 3 dimensi yang
menyerupai patung yang diharamkan, masuknya kalimasada (kalimat syahadat)
sebagai senjata yang paling ampuh, dan beberapa konsep hidup (mutmainah,
tumakninah, dan sakinah) dalam pakem wayang merupakan sebagian contoh
322