Page 340 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 340
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
intensifnya negara mengintervensi – dan menghegemoni – kesenian-kesenian
Zurbuchen (1990) tayub di Jawa Timur, macopat di Yogyakarta dan Banyuwangi, tayub di Blora,
melihat ada dua alasan topeng Cirebon, Mangalabat Horbo Lae-lae di Toba, dan reyog Ponorogo
penting mengapa dengan berbagai cara dan melalui berbagai media yang semuanya berdampak
pemerintah (Orde Baru)
terlibat sangat jauh nyata pada perubahan-perubahan teks pertunjukan. Perubahan kawih selamat
dalam kebudayaan (doa ketika jaipong pantura hendak memulai pertunjukan) yang merujuk pada
(kesenian rakyat). mitos Prabu Siliwangi menjadi kawih Pancasila, perubahan pementasan reyog
Pertama, untuk mencari dari iring-iringan menjadi diatas panggung, perubahan kostum dan sertifikasi
kepastian bahwa para penari gandrung, tayub, dan lengger mungkin dapat diajukan sebagai
loyalitas daerah,
seperti tercermin dalam ilustrasi bagaimana intervensi dan kontrol tersebut diwujudkan. Secara umum,
kebudayaan (kesenian), Zurbuchen (1990) melihat ada dua alasan penting mengapa pemerintah (Orde
tidak mengancam Baru) terlibat sangat jauh dalam kebudayaan (kesenian rakyat). Pertama, untuk
kebudayaan nasional. mencari kepastian bahwa loyalitas daerah, seperti tercermin dalam kebudayaan
Kedua, kebudayaan (kesenian), tidak mengancam kebudayaan nasional. Kedua, kebudayaan dilihat
dilihat sebagai pencipta
kondisi yang baik sebagai pencipta kondisi yang baik untuk menumbuhkan ekonomi dan teknologi
untuk menumbuhkan (kedua alasan itu dengan jelas dapat kita baca dalam GBHN yang secara khusus
ekonomi dan teknologi memuat “kedaerahan yang sempit” dan Repelita ke-III tahun 1978).
(kedua alasan itu
dengan jelas dapat kita
baca dalam GBHN yang Tidak hanya negara, Islam pun juga mengambil peran penting dalam merubah
secara khusus memuat kesenian rakyat pasca 65. Seperti yang akan dipaparkan secara rinci dalam
“kedaerahan yang kasus beberapa kesenian dibawah, Islam tampak sangat tertarik menyentuh
sempit” dan Repelita dan mengolah kesenian rakyat, tentu agar lebih berwatak dan bercorak
ke-III tahun 1978). Islami. Meski operasional sentuhan Islam pada kesenian acapkali berkelindan
(bergandeng mesra) dengan proyek-proyek kebudayaan pemerintah, namun
kedua kekuatan besar itu mempunyai alas pikir dan tujuan yang berbeda. Jika
pemerintah memandang komunisme yang distigmakan pada seluruh kesenian
rakyat sebagai bahaya (hantu) politik, maka Islam lebih melihatnya sebagai
bahaya teologis (kekafiran) dan perusak moralitas (akhlak). Jika pemerintah
mengharuskan perubahan-perubahan kesenian – dan kebudayaan daerah –
agar tercipta loyalitas politik, maka Islam, dengan perubahan-perubahan itu,
lebih menghendaki supaya ketauhidan dapat ditegakkan, kemurnian ajaran
diwujudkan, dan akhlakul-karimah lebih disemarakkan; bukankah sering
terdengar identifikasi (konstruksi) kaum muslim kala itu hingga sekarang
bahwa para komunis adalah yang menghendaki “Tuhan mati”, pornografi
dan kebebasan termasuk seksual dihalalkan. Meski tidak dikaitkan dengan
komunisme, fatwa haram terhadap goyang ngebornya Inul Daratista tahun
2002 lalu oleh Syuriah NU Jatim kemudian MUI pusat menunjukkan bahwa
soal moralitas dalam kesenian menjadi issue penting bagi kalangan muslim,
walaupun soal Inul pun kemudian menjadi kontroversi panjang, karena Gus Dur,
Tuan Guru Ijai (Kalimantan Selatan), dan Gus Mus (Kiai Mustofa Bisri) gencar
membelanya. Bahkan Guru Ijai, dalam suatu pengajiannya, meminta puluhan
ribu jamaahnya untuk mendoakan agar Inul yang telah diangkat anak itu masuk
surga, dan secara simbolik, Gus Mus membuat lukisan menarik: Inul bergoyang
ngebor di tengah lingkaran kiai yang sedang berwirid dan berdoa. Lepas dari
perbedaan-perbedaan itu, dalam praktiknya di lapangan, seperti yang terlihat
326