Page 344 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 344
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
samping soal ngebor Inul di atas, kalangan pesantren dan NU sangat mengenal
sebuah cerita perdebatan seru antara kiai Wahab Hasbullah dengan kiai Bisri
Sansyuri (keduanya dari Jombang, Jawa Timur) soal boleh-tidaknya drum-
band; kiai Wahab yang dikenal sebagai politisi membolehkan, sedangkan kiai
Bisri yang fiqh oriented mengharamkannya. Perdebatan kedua kiai sepuh itu
berlangsung tanpa ujung, keduanya tetap bersikukuh pada pendirian masing-
masing, sementara perkembangan berikutnya memperlihatkan drum-band
sangat marak justru di kalangan anak-anak muda NU (Ansor, Fatayat, IPNU, dan
IPPNU). Mungkin kita masih ingat bagaimana hampir di setiap ranting organisasi
pemuda NU waktu itu – hingga sekarang – terdapat grup drum-band yang
bermain gegap gempita. Anehnya, setelah perkembangan seperti itu, tak satu
pun ulama NU bersibuk-sibuk menyuarakan fatwa haram, termasuk kiai Bisri dan
yang sepaham dengannya. Kisah senada itu adalah ketika Gus Dur menjadi ketua
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang dikritik keras oleh sejumlah kiai pesantren,
beberapa kiai sering menyebutnya sebagai kiai ludruk. Bahkan, saat banyak
kiai mengajukan Gus Dur sebagai ketua PBNU di Muktamar Situbondo 1983
(doprakarsai oleh kiai-kiai: Mahrus Ali, Ali Ma’shum, Ahmad Sidiq), kiai As’ad
Syamsul Arifin (waktu itu: ketua Mustasyar NU) dan pendukungnya menolak
keras pencalonan itu, hanya karena Gus Dur menjadi ketua DKJ, di samping
menjadi ketua Dewan Juri Festival Film Nasional, dan melontar-melontarkan
kontroversi “selamat pagi”. Negosiasi berlangsung secara intens terutama
antara kiai Mahrus Ali dan kiai As’ad yang akhirnya melahirkan kesepakatan
Gus Dur menjadi ketua PBNU.
Menelusur ke berbagai pesantren, pro-kontra tentang kesenian tradisi di antara
para pemimpin lembaga itu menjadi lebih konkret-historis. Sebagian besar
pesantren memang tidak pernah mementaskan kesenian tradisi apa pun dalam
pesantrennya, kecuali kasidah, hadrah, dan tsamrah, meski, barangkali, sang
kiai pemimpinnya tidak mengharamkannya. Akan tetapi, seperti yang dapat
kita saksikan hingga kini, beberapa pesantren di pulau Jawa ternyata telah
membiasakan pementasan kesenian tradisi pada waktu-waktu tertentu demi
memeriahkan hajatan yang mereka selenggarakan. Pesantren Darul Hikam
Bendo, Pare, Kediri, misalnya, sejak awal berdirinya sekitar tahun 40-an oleh
kiai Chozin telah mentradisikan pementasan berbagai kesenian setiap 4 tahun
sekali, saat haflah hataman pengajian kitab Ihya’ ulumidin (karya Al-Ghozali).
Demikian pula pesantren salafiyah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Pesantren
yang didirikan oleh kiai Chudori (murid pertama kiai Chozin, Bendo) tahun 50-
an ini bahkan meritualisasikan pementasan kesenian dari berbagai tempat di
Magelang dan sekitarnya setiap akhirussanah (ritual akhir tahun penutupan
madrasah dan pengajian menjelang bulan ramadhan); dan pertunjukannya
berlangsung hingga 7 hari/malam. Tampaknya, seperti diungkap majalah
kebudayaan, Desantara (edisi 01/tahun I/2001; 4-8), tradisi itu ditauladani
oleh kiai Masrur (lulusan pesantren Tegalrejo dan Jampes Kediri), pemimpin/
pengasuh pesantren Al-Qadir Cangkringan, Pakem, Sleman, Yogyakarta, yang
sampai sekarang “mengelus” kesenian jathilan, sebuah kesenian tari yang di
330