Page 345 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 345

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           tempat lain dipandang “penuh setan”. Kiai nyentrik
           suka berambut gondrong ini, dalam batas-batas
           tertentu, memang berhasil mengislamisasi jathilan,
           tetapi, dia sendiri, oleh kalangan pesantren dan
           NU di Yogyakarta dan Jawa Tengah lalu dikenal
           dengan “kiai jathilan”.  Meski tidak mementaskan
           secara rutin, pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa
           Barat juga mengapresiasi kesenian tradisi dengan
           beberapa kali mementaskan, salah satu contohnya,
           tarawangsa, sebuah kesenian tradisi Sunda yang
           ditolak oleh sebagian besar ulama dan tokoh-tokoh
           Islam Sunda Priyangan.



           Apa yang tercatat dari serangkain halaqah (forum
           diskusi dan perdebatan) kebudayaan oleh Desantara
           (lembaga swasta yang dirintis dan dikembangkan
           anak-anak pesantren dan kaum muda NU),
           bermarkas di Depok, Jawa Barat barangkali menarik
           diungkap kembali di sini. Dalam kurun waktu 5
           tahun (2001-2005), lembaga itu telah merealisasi
           27 kali halaqah di 5 propinsi (5 kali di Jawa Barat,
           3 kali di Jawa Tengah, 8 kali di Jawa Timur, 2 kali
           di Lombok, 7 kali di Sulawesi Selatan, dan 2 kali di
           Kalimantan Selatan) yang melibatkan kiai pesantren,
           tokoh ormas Islam, akademisi kampus, seniman/
           budayawan, dan aktivis LSM setempat dengan
           tema: Rekonsiliasi Kultural, kebanyakan terfokus
           pada hubungan agama dan kesenian. Dari 27 kali
           halaqah tersebut, 4 diantaranya dilengkapi dengan
           pergelaran kesenian tradisi yang berkembang di
           sekitar pesantren yang bersangkutan.
                                                                                       Gurutta Wahab Zarkasyi dari
                                                                                       pesantren DDI Mangkoso,
           Dari notulasi ke 27 halaqah tersebut, ada dua hal penting yang perlu dipaparkan   Barru, Sulawesi Selatan yang
           singkat  di  sini.  Pertama,  bahwa  perbedaan  pandangan  antar  pemuka  Islam   menegaskan bahwa hubungan
           khususnya para pemimpin pesantren tentang kesenian tradisi terbukti sangat luas   ulama dengan kesenian
           di level mikro dan merupakan persoalan laten di tengah kehidupan masyarakat.   tradisi adalah soal mu’amalah,
                                                                                       bukan soal ubudiyah yang
           Tuan Guru Muharrar dari Nahdlatul Wathan, Lombok Barat, misalnya, bukan     dimungkinkan tidak setuju, tetapi
           saja tidak apresiatif terhadap kesenian tradisi – termasuk terhadap kebudayaan   tidak boleh mencampuri paksa,
           komunitas Wektu Telu di Bayan -, bahkan selalu menganjurkan agar kesenian-  apalagi melarangnya.
                                                                                       Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
           kesenian itu dimusnahkan jika tidak bersedia dibersihkan secara total dari
           kemusyrikan dan kemaksiatan yang inheren di dalamnya. Tuan Guru yang
           mengembangkan pesantrennya di perbatasan dengan konsentrasi pemukiman
           komunitas  Bayan di  Lombok Barat  ini mengakui  pentingnya  pemanfaatan
           kesenian sebagai media dakwah, tetapi syarat pembersihan tersebut mutlak






                                                                                                331
   340   341   342   343   344   345   346   347   348   349   350