Page 343 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 343
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Muhammadiyah terdapat juga tradisionalitas dan “gado-gado” (istilah yang
dipakai Nakamura dan dikutip dari pernyataan tokoh-tokoh Muhammadiyah di
Kotagede untuk menggambarkan Islam yang belum sempurna) keberagamaan
seperti terlihat dalam perilaku dan pengamalan sejumlah tokoh di Kotagede.
Beberapa pemuda Muhammadiyah tersebut juga mengakui bahwa
Muhammadiyah tidak berwajah tunggal, dimana dialektika (perdebatan)
internal tentang kesenian tradisi acapkali muncul secara intens.
Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih di Banda Aceh 1995 tentang
kesenian tradisi (lokal) yang ditetapkan sebagai mubah merupakan peristiwa
penting, dan tampaknya dimaksudkan untuk membangun wajah baru
Muhammadiyah dalam menata relasinya dengan kesenian (kebudayaan)
setempat. Banyak forum diselenggarakan oleh Muhammadiyah pasca itu yang
secara khusus dimaksudkan untuk menerjemahkan keputusan Munas Tarjih
tersebut, salah satunya, Sidang Tanwir di Bali Januari 2002 yang memutuskan,
antara lain, perlunya dakwah kultural mendampingi dakwah konvensional yang
selama ini dikembangkan Muhammdiyah. Melalui Halaqah Tarjih II (Surakarta,
Maret 2002) sejumlah generasi muda Muhammadiyah mencoba menawarkan
apa yang mereka sebut sebagai “visi baru” Muhammadiyah bahwa seni (lokal)
adalah rahmat, ma’ruf, dan mengandung muatan religius-sosial.
Persis seperti formalisasi syariah di atas, baik keputusan Munas Aceh 1995
maupun Hahalaqah Tarjih Surakarta 2002 inipun sebenarnya juga tidak berlaku
general dalam arti setiap tokoh atau warga Muhammadiyah mempunyai
pandangan dan sikap yang sama. Di tengah gencarnya sosialisasi hasil Munas Melalui Halaqah Tarjih
Tarjih dan maraknya perdebatan di kalangan kaum muda dan sebagian tokoh II (Surakarta, Maret
organisasi massa Islam Indonesia terbesar kedua itu banyak tokoh dan mubaligh 2002) sejumlah generasi
Muhammadiyah di level bawah yang justru berpegang teguh pada syariah muda Muhammadiyah
mencoba menawarkan
formal dalam memandang dan manyikapi kesenian tradisi. Penelitian Asykuri apa yang mereka sebut
Ibn Chamim dkk.(2002; 77-79) memerlihatkan bagaimana para mubaligh sebagai “visi baru”
Muhammadiyah di Lamongan, Jawa Timur, kebanyakan lulusan pesantren Muhammadiyah bahwa
Persatuan Islam (Persis), seringkali menstigma dan memandang rendah kesenian seni (lokal) adalah
tradisi yang berkembang di daerah itu. Tidak hanya itu, halaqah tarjih di UMS rahmat, ma’ruf, dan
itupun sebenarnya sangat diwarnai dengan perdebatan – bahkan pertengkaran mengandung muatan
religius-sosial.
– seru antara kaum tua dan kaum muda, bahkan sejumlah tokoh, antara lain
Kuntowijoyo, menyebut anak-anak muda yang memprakarsai pertemuan
itu sebagai malin kundang. Fenomena yang terakhir itu hanya menunjukkan
bahwa bagaimana pun, pandangan kalangan Muhammadiyah tentang kesenian
tradisi lebih merupakan suara individu, person, ketimbang sebagai representasi
kelembagaan.
Kontroversi atau perbedaan pendapat tentang kesenian di kalangan (intern)
tokoh Muhammadiyah tersebut juga terjadi di kalangan kiai pesantren dan
ulama NU, sebuah fenomena yang sebenarnya merupakan bagian dinamik
sejarah oragnisasi itu sendiri dan tidak melahirkan perpecahan-perpecahan. Di
329