Page 339 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 339

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           pula perebutan oleh lembaga-lembaga tersebut terhadap sebuah kesenian
           yang terdiri dari lebih dua grup seperti ludruk, reyog, dan tayub sehingga para   Di awal dasawarsa
           pendukungnya terbelah menurut afiliasinya sendiri-sendiri. Dalam konteks yang   1970-an, ketika promosi
                                                                                         “perlunya dilestarikan
           terakhir ini terjadi persaingan ketat bahkan pertengkaran seru antar lembaga   kebudayaan daerah”
           dalam mengembangkan kesenian yang bersangkutan yang sebenarnya bukan            dihembuskan oleh
           untuk kesenian itu sendiri melainkan untuk kepentingan ideologi, agama, dan      elite politik Orde
           yang paling praktis adalah untuk memperebutkan massa pendukung demi           Baru, banyak kesenian
           politik lokal maupun nasional.                                               bangun kembali setelah
                                                                                           mengalami masa
                                                                                          vakum sepanjang 6
           Di awal dasawarsa 1970-an, ketika promosi “perlunya dilestarikan kebudayaan   sampai 8 tahun karena
           daerah”  dihembuskan  oleh  elite  politik  Orde  Baru,  banyak  kesenian  bangun   trauma tragedi 65 yang
           kembali setelah mengalami masa vakum sepanjang 6 sampai 8 tahun karena         sempat membekukan
                                                                                            seluruh aktivitas
           trauma tragedi 65 yang sempat membekukan seluruh aktivitas kesenian rakyat   kesenian rakyat dengan
           dengan dalih pemurnian ideologi dari sisa-sisa komunisme. Meskipun, akibat       dalih pemurnian
           dari pembekuan itu, ada beberapa kesenian yang hingga kini tak mampu bangkit   ideologi dari sisa-sisa
           kembali seperti makyong di komunitas Dayak Kalimantan Barat dan angklung          komunisme.
           Banyuwangi, di samping yang tak begitu jelas antara hidup dan mati. Mungkin
           karena peran negara terlampau dominan, maka kebangkitan kembali kesenian-
           kesenian tersebut melahirkan implikasi-implikasi serius, diantaranya, pertama,
           ketergantungan yang terlalu tinggi pada peran pemerintah dalam pementasan
           sebagian besar kesenian melalui proyek-proyek revitalisasi baik yang direalisasi
           dalam bentuk  event-event untuk itu maupun yang diselenggarakan dalam
           kerangka peringatan hari-hari besar nasional. Mendu (Natuna dan Kalimantan
           Barat), wayang bangsawan (Kepulau Riau), mamanda (Kalimantan Selatan),
           dulmuluk (Sumatera Selatan), sekedar beberapa contoh, yang dahulu merupakan
           kesenian yang selalu ditanggap dalam berbagi hajatan warga masyarakat, kini
           hanya tampil dalam peringatan hari-hari besar, ketika menjadi sajian sebuah
           peristiwa  kebudayan  di  ibukota  kabupaten,  propinsi,  Jakarta  (istana  negara,
           TIM, atau Taman Mini) atau keluar negeri. Ketika membandingkan kebijakan
           kebudayaan di Asia Tenggara, Jennifer Lindsay (1995) melihat bagaimana
           negara menciptakan ketergantungan organisasi kesenian rakyat pada sponsor
           (negara) sehingga tidak sedikit kesenian rakyat yang menggantungkan hidupnya
           pada uluran dan campur tangan negara. Rumusan bahwa pemerintah sebagai
           pengayom, pembina, pelindung, sekaligus pengucur dana berbentuk anggaran
           rutin melalui Dewan Kesenian Daerah merupakan penanda bagaimana negara
           sebagai “tuan” dan kesenian rakyat sebagai “hamba”.  Rumusan pemerintah
           sebagai pengayom, pelindung, dan pemberi fasilitas yang selalu muncul sebagai
           salah satu rekomendasi Kongres Kebudayaan hingga yang terakhir beberapa
           waktu lalu di Yogyakarta semakin memperkuat asumsi diatas.

           Kedua, intervensi dan kontrol pemerintah terhadap teks pertunjukan dengan
           berbagai alasannya yang begitu intensif. Dengan perspektif “ritus hegemoni”,
           sejumlah kajian mikro tentang kesenian waktu itu seperti yang dilakukan Robert
           W. Hefner (1987), Bernard Arps (1991), Amrih Widodo (1995), Endo Suanda
           (1995), Rithaony Hutajulu (1995), dan Bisri Effendy (1998b) melukiskan begitu





                                                                                                325
   334   335   336   337   338   339   340   341   342   343   344